7 days with the angel.
©Yuki Tachibana Masanobu
Hari 1, 10 PM - 7 Agustus 2009
Aku sedang berjalan santai di taman dan mulai memperlambat jalanku ketika mendengar suara itu. Suara yang terdengar pelan, namun sangat memilukan bagiku.
Suara tangisan seorang anak perempuan.
Aku tertegun, bingung dan terkejut. Bukankah berbahaya bagi seorang gadis untuk berada di luar rumah saat tengah malam begini? Mengapa orang tuanya tidak mencarinya? Mengapa tidak ada seorang pun yang mencarinya?
Aku berjalan lebih jauh ke dalam taman itu, taman tempatku biasa berjalan-jalan saat insomniaku kambuh. Aku mulai mencari arah asal suara itu, menyusuri pepohonan dan jalan setapak kecil mendekati suara pelan yang semakin lama mulai menjadi semakin jelas. Dan di sanalah aku menemukannya. Seorang anak perempuan yang sedang menangis dibalik pepohonan. Asal dari suara memilukan itu...
"Hei... Apa yang kau lakukan disini?" Aku mulai berjalan mendekatinya, perlahan kusentuh tangannya. Seketika saja ia menoleh ke arahku.
Aku tidak dapat mencintai mereka yang nyata
Karena aku telah jatuh cinta pada dia yang tak nyata
Wajahnya yang manis terlihat sendu, air mata menetes lembut dari mata indahnya. Dia menatapku kosong, mulutnya terbata ingin mengucapkan sesuatu.
"A-aku... Tadi..." Tiba-tiba ia terdiam. Matanya semakin penuh dengan air mata, kepalanya kembali tertunduk lemah dan isak tangisnya kembali terdengar. Aku semakin bingung dan kasihan padanya, aku tak ingin meninggalkannya sendiri di sini, aku benar-benar tidak ingin meninggalkaannya.
"Dimana rumahmu?" Sekali lagi kucoba untuk memanggilnya, membujuknya untuk bicara, mungkin mengantarnya pulang, apapun selain meninggalkannya.
Perlahan-lahan ia kembali menatapku, pandangannya seakan memohon perlindungan. Ia kembali menangis dan menggenggam lenganku erat dengan tangannya yang gemetar, "A-aku... Aku tidak dapat... Mengingat apapun..." Tiba-tiba saja ia memelukku, tubuhnya yang kecil bersandar lemah pada tubuhku. "Kumohon... Jangan tinggalkan aku... Sendiri..."
Apakah aku melakukan hal yang benar?
Ataukah aku melakukan kesalahan?
Aku hanya tidak ingin menyakitinya
Seluruh hidupku hanyalah untuknya
Hari 2, 7 AM - 8 Agustus 2009
Aku tidak tahu apakah aku telah melakukan hal yang tepat.
Pagi hari, seperti biasa, tentu saja aku sudah bangun. Masih berbaring di kamarku sambil membolak-balik channel televisi. Aku masih bingung dan merasa aneh dengan keputusanku kemarin, untuk mengizinkan gadis itu menumpang di apartemenku. Entah kenapa, aku yakin aku memang tidak boleh meninggalkannya di sana.
Ah iya, gadis itu.
Baru kali ini aku melihat seseorang sepertinya, mukanya yang manis dan polos, suaranya yang lembut, tubuhnya yang mungil, entah kenapa, rasanya aku ingin selalu melindunginya. Ia selalu mengingatkanku pada seseorang itu.
Ketukan pelan dari pintu kamar menyadarkanku dari lamunan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan berjalan ke depan pintu. Begitu ku buka, wajahnyalah yang pertama ku lihat.
"Ano... Maaf..." Tampaknya ia terkejut dengan penampilanku yang masih berantakan–aku sudah terlalu lelah untuk berganti baju tadi malam- jadwal kuliah malamku yang padat memang membuatku agak kurang mendapat istirahat.
"...e...to... Aku kira... Kau sudah bangun..."
Kupaksakan senyum kecil dari wajahku yang lelah dan berjalan keluar kamar. "Tak apa, aku memang sudah bangun..." Aku berjalan ke arah mesin cuci untuk mengambil handuk, mungkin aku bisa berpikir lebih lebih jernih setelah mandi sebentar.
Aku baru saja akan mengambil handukku ketika aku sadar bahwa makanan telah tertata rapi di meja. Aku terdiam melihat hal itu, tak dapat berkata apapun.
Gadis itu menunduk sedikit. "Eh… itu… aku…"
"Kau yang menyiapkan semua ini?" aku menyela.
Ia mengangguk pelan. "Itu bukan hal yang sulit... Aku juga sudah memanaskan air untuk mandi..."
Aku masih tertegun, kebingungan. Entah kenapa semua hal ini terjadi begitu saja, dan kembali mengingatkanku pada adik perempuanku yang baru saja meninggal beberapa minggu yang lalu, mungkin usianya sama dengan gadis ini. Adikku yang selalu membuatkan sarapan untukku, menyiapkan air mandiku, dan mengurus apartemenku. Adik yang selalu kusayangi dan yang menyayangiku. Segera kutepis semua kenangan itu dan mengembalikan perhatianku pada gadis yang ada dihadapanku. Aku tersenyum kecil padanya. "Terima kasih, tetapi kau benar-benar tak perlu melakukan semua ini."
Ia menggeleng. "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Lagipula aku memang merasa harus berterima kasih..." Saat itulah pertama kalinya aku melihat seulas senyum di wajah manisnya.
Aku membalas senyumnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Tiba-tiba aku berhenti dan berbalik kembali menghadapnya "Ah, ada yang lupa kutanyakan..."
"Ya?"
"Siapa namamu?"
Ia tersenyum dan tertawa kecil—benar-benar ekspresi yang sangat berbeda dari ekspresinya kemarin malam saat aku menemukannya di taman.
"Chise," jawabnya lembut. "Chise Hanatsukasa."
"Ichi..." Aku kembali berjalan ke arah kamar mandi. "Namaku Ichi"
Banyak masalah yang tak dapat diselesaikan sendirian
Karena itu tenangkanlah dirimu
Percayalah pada diriku
Dan semua akan selalu kita lalui bersama
7.30 AM
Seusai mandi, aku sarapan pagi dengan Chise. Yah, aku masih bertanya-tanya tentang siapa ia sebenarnya, bagaimana ia bisa ada di taman itu kemarin malam, apakah keluarganya tidak khawatir, banyak hal yang harus kutanyakan. Tapi aku takut pertanyaan-pertanyaan itu akan menghilangkan senyum dari wajahnya. Aku takut hal itu akan melukainya.
Aku rasa ia merasakan sesuatu yang salah, karena ia langsung meletakkan piringnya dan memandangku. "Ada apa? Makanannya tidak enak?" Entah apakah itu hanya sugestiku ataukah pandangannya memang terlihat khawatir?
"Ah, tidak…"Aku segera melanjutkan sarapanku, "Aku hanya punya beberapa hal yang masih kupikirkan..."Aku benar-benar bingung antara ingin menanyakan asal usulnya atau hanya diam saja saat ini, dan itu benar-benar membuatku resah… Aku tahu ia menyadarinya karena ia masih memperhatikanku, tapi aku benar-benar tidak ingin melihatnya bersedih lagi, dan aku juga tidak ingin dianggap terlalu ikut campur.
Aku segera merapikan piringku setelah selesai makan, "Aku akan pergi jam 9 nanti, aku mungkin pulang agak malam."
Ia terlihat bingung untuk sesaat. "Pergi?"
Aku tersenyum lembut, kubawa piring-piring kami ke dapur untuk dicuci. "Kuliah, selesai jam 7 nanti."
"Huh?" ia mengikutiku ke dapur dan membantuku membereskan piring. "Lama sekali..."
"Dalam kamar yang kau pakai semalam ada beberapa pakaian yang bisa kau pakai, saat perjalanan pulang nanti aku akan pergi ke kantor polisi sebentar, mungkin keluargamu datang dan—"
"Jangan..." ia kembali memegang erat tanganku, kepalanya kembali tertunduk dan menangis pelan. "Aku masih ingin disini... aku masih ingin bersamamu..."
Kembali kulihat wajahnya yang sendu, ekspresi yang benar-benar kubenci dan tak ingin kulihat muncul di wajahnya. Perlahan aku mulai memeluknya, mengelus lembut rambutnya, mencoba menenangkannya.
Kami bergeming dalam posisi itu selama beberapa saat, masing-masing berusaha menenangkan diri sendiri. Kemudian ia melepaskan pelukan kami dan menghapus air matanya. Ia kembali menatapku lekat-lekat, meminta respon dan persetujuanku atas permintaannya.
Aku hanya dapat menghela napas...
Lagi-lagi aku terjebak dalam teka-teki ini
Tak dapat mengetahui awal dan akhir
Aku tak tahu lagi dimana ini berawal
dan akupun tak tahu bagaimana ini akan berakhir
8.17 PM
Aku berjalan dan membuka pintu perlahan. Semakin lama aku semakin bingung dengan keputusan-keputusanku. Membiarkan Chise menumpang, tanpa melapor polisi, meskipun aku tahu mungkin keluarganya sedang panik dan kebingungan mencarinya.
Aku berjalan masuk ke dalam apartemenku, berharap melihat Chise menungguku atau mungkin saja ia sedang makan malam atau menonton televisi, apapun. Boleh saja aku berharap kan? Tapi seperti biasa, ruang tamuku selalu kosong saat aku pulang. Hampir saja aku berpikir ia sudah pergi jika aku tidak menyadari ada sesuatu yang berbeda. Ya, seperti tadi pagi, Chise telah menyiapkan makanan untuku. Segera kulepas jaketku dan duduk di meja makan. Kukatupkan kedua tanganku di depan dada, "Itadakimasu..."
"Itadakimasu, Ichi-kun." Chise berjalan keluar dari kamar adikku—kamar dimana ia tidur—dan membalas ucapan selamat makanku.
Aku tersenyum dan mulai memakan nasi kare yang sudah tersedia. "Kupikir kau sudah pergi, karena itu aku tidak memanggilmu. Aku benar-benar berterima kasih." ucapku.
Ia berjalan ke arah meja makan dan duduk dihadapanku. Ia pun membalas perkataanku dengan senyuman yang manis, "Justru akulah yang harus berterima kasih karena kau telah mengizinkanku tetap tinggal..."
"Ya…" Aku terdiam sesaat. "Tak apa jika kau masih ingin disini, tapi bagaimana jika keluargamu khawatir?" aku tetap berusaha untuk membuatnya mengerti.
Ia menggeleng pelan, "Mereka tidak akan mencariku, tidak akan ada yang mencariku dan menghawatirkanku."
Sebenarnya aku bingung dan ragu akan kata-katanya, bagaimana mungkin keluarga dan teman-temannya tidak akan mencarinya? Apa ia tidak punya siapa-siapa? Kuhiraukan semua hal itu dan kembali mencoba membujuknya. Aku masih mencoba untuk menjelaskan situasiku padanya. "Tapi aku tidak mungkin bisa mengizinkanmu menumpang di sini terus bukan?"
Ia kembali tersenyum, "Aku tidak akan lama."
Lagi-lagi aku hanya dapat menatapnya bingung. Akhirnya aku menyerah dan melanjutkan makan malamku, membiarkan Chise melakukan apa yang ia mau.
Mungkin besok semuanya akan menjadi lebih jelas.
Hari 3, 7 AM - 9 Agustus 2009
Hari ini, entah kenapa, aku bangun lebih pagi. Akupun segera mandi dan sarapan dengan Chise seperti kemarin, aku harus mulai mencoba mendapat infomasi tentangnya.
"Chise..." aku mulai mengajaknya mengobrol saat sarapan. "Dimana tempat tinggalmu?"
"Ng?" ia berhenti makan untuk sejenak. "Aku tidak tahu, aku tinggal di perusahaan milik ayahku."
Oke, sekarang semua perkataannya benar-benar membingungkanku. "Kau tinggal di sebuah perusahaan?" Aku memandangnya aneh.
Ia mengangkat bahu. "Ada beberapa kamar yang bisa kupakai disana."
"Perusahaan apa?" aku kembali bertanya. Setidaknya mungkin aku dapat menghubungi seseorang yang tahu tempat itu, atau bekerja di situ…
"Entahlah." ia mulai kembali meneruskan sarapannya. "Perusahaan itu menggunakan nama margaku-Perusahaan Hanatsukasa- dan dikelola oleh ayahku. Letaknya di prefektur Niigata. Aku tidak pernah tertarik dengan bisnis ayah." Chise menjawab tanpa menoleh ke arahku.
"Begitu..." akupun ikut meneruskan makanku. Aku sudah tahu kemana aku harus pergi siang nanti...
11 AM
Siang ini aku mengajak Chise menemaniku pergi ke tempat temanku, Takki. Aku tidak ingin lebih merepotkannya lagi di rumah. Rumah Takki tidak terlalu jauh, kami pergi berjalan kaki ke sana. Sesampainya di sana, Takki sudah menunggu di depan pintu.
"Well, apalagi yang bisa ku bantu sekarang?" tanyanya sambil bercanda ketika aku dan Chise datang. Ia segera berjalan masuk dan kembali duduk di depan meja komputernya. Entah kenapa rasanya ia tak peduli dengan Chise yang ikut denganku, ia sama sekali tidak menanyakan apapun tentangnya. Tapi memang begitulah Takki, dan aku tak mau ambil pusing dengan itu.
"Cuma hal kecil..." Aku berjalan ke sebelahnya. "Aku mau minta tolong carikan alamat sebuah perusahaan."
Ia tertawa kecil. "Baiklah, permintaan yang cukup mudah... Beritahu aku namanya."
"Perusahaan Hanatsukasa, di Prefektur Niigata."
"Baiklah tunggu sebentar..." ia mulai membuka websearch dari komputernya dan munculah nama-nama perusahaan yang terletak di Niigata.
"Ichi."
Aku tersentak ketika menyadari Chise kembali memegang erat tanganku, hal yang selalu ia lakukan ketika aku menyinggung tentang tempat tinggal atau kehidupannya. Ia menatapku dengan tatapan tak percaya. "Kenapa kau...? Kupikir aku... Ah..."
Perlahan-lahan kulepaskan genggamannya dan tersenyum lembut. "Aku hanya ingin tahu..."
Ia menatapku kesal dan kembali duduk.
"Got it!" Takki segera mencetak selembar kertas dari komputernya dan menunjukannya kepadaku. "Tidak ada situs yang memberitahu alamat lengkapnya, tetapi setidaknya mereka memiliki nomor teleponnya."
Aku membaca kertas itu, memang pada alamat perusahaannya hanya tertulis prefektur niigata. "Baiklah... terima kasih..."
Aku segera mengajak Chise pulang, ia masih tidak mau bicara padaku dan menatapku dengan kesal. Aku juga menjadi merasa agak bersalah, tetapi aku tetap harus menghubungi orang rumahnya.
Mengapa aku selalu membuatnya terluka?
Aku hanyalah ingin melindunginya
Tanpa bermaksud menghilangkan kepercayaannya padaku
Tak bisakah kau mengerti?
Kaulah satu-satunya yang ku inginkan
1 PM
Seusai makan siang, Chise kembali masuk ke kamarnya. Masih tak berbicara padaku. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan sikapnya, dan aku akan menghentikan hal itu. Aku berjalan ke kamarnya dan mengetuk pintunya perlahan. Aku mendengar langkah kakinya mendekat dan membuka pintu kamarnya.
"Aku ingin bicara denganmu..." aku mengajaknya keluar.
"Aku tidak." Ia menjawab dengan ketus.
"Ayolah..." aku menggenggam tangannya pelan dan menariknya ke ruang tamu.
Ia duduk dengan kesal di meja makan. "Apa?"
Aku mulai agak kesal juga dengan sikapnya ini... "Aku masih ingin tahu kenapa kau ada di taman 2 hari yang lalu. Kenapa kau tidak mau pulang? Apa kau kabur dari rumah?"
Ia menggeleng. "Aku memang harus berada di sana. Dan aku tidak bisa pulang sebelum tujuanku selesai."
"Tapi kau menangis... kenapa? Mengapa kau datang ke sana?"
"Entahlah... Mungkin aku datang untuk menemanimu... dan aku menangis karena aku merasakan apa yang kau rasakan."
Aku semakin bingung dengan hal-hal yang ia katakan. "Apa maksudmu?"
Ia mulai tersenyum kecil, "Seperti yang ku katakan, aku menangis karena aku merasakan apa yang kau rasakan, dan aku ada di sana untuk menemanimu."
"Apa maksudmu? Apa yang kurasakan?"
Ia menatapku lembut. "Kau kesepian kan?"
Aku tertawa kecil. "Apa maksudmu? Tentu saja tidak. Aku punya banyak teman..."
Ia mulai tersenyum kecil, "Bagaimana dengan adik perempuanmu, Ichi-kun?"
Aku terkejut. "Darimana kau..."
"Aku melihat fotonya di kamar. Apa dia sudah tidak mau tinggal denganmu lagi?"
"Dia sudah meninggal." kataku ketus.
"Dan apa yang kau rasakan saat ia meninggal?"
Lagi-lagi aku terdiam, tak mampu membalas kata-katanya.
Kesepian. Hal itu yang ku rasakan saat adikku pergi untuk selamanya. Ketika aku sadar bahwa aku akan sendirian hingga akhir. Saat aku sadar bahwa aku tidak lagi memiliki siapapun. Saat aku menyadari bahwa aku telah kehilangan dia. Adikku. Tanpa sadar air mata menetes perlahan, jatuh ke pipiku.
"Akh... aku..." kucoba untuk menghentikan tangisanku, ku hapus air mataku. Tapi tetap saja, aku tetap menangis. Akhirnya aku menyerah dan menundukan kepalaku.
Chise menatapku iba. Ia berjalan mendekatiku dan memelukku dengan erat. "Tidak apa... menangislah... kau sudah lama menahannya..."
Aku bersandar lemah padanya, menumpahkan seluruh kesedihanku dalam tangisan. Tangisan yang lembut, tapi menyakitkan. Aku benar-benar tak peduli lagi dengan alasan Chise untuk berada di taman kemarin, aku hanya ingin ia tetap menemaniku untuk saat ini.
6.30 PM
"Nggh..." aku membuka mataku perlahan, ku lihat keluar jendela, matahari sudah terbenam. Aku terbangun masih di atas sofa, dengan selimut menutupi tubuhku.
"Konbanwa." Chise berjalan dari arah dapur membawa dua mangkuk sup. "Akhirnya kau bangun." Ia tersenyum manis dan meletakkan makan malam kami di meja.
Aku masih agak pusing karena menangis tadi, rasanya aku hanya ingin kembali tidur dengan nyenyak sampai besok pagi... "Aku tertidur?"
Ia mengangguk. "Kau pasti kelelahan... Cepatlah mandi dan makan malam, setelah itu kau bisa istirahat."
Aku bangun dari sofa dan berjalan ke kamar mandi sementara Chise masih menyiapkan meja makan.
Setelah makan malam, Chise dan aku membereskan meja dan membawa piring-piring kami ke dapur.
"Biar aku saja," Chise mengambil piring dari tanganku dan meletakkannya di wastafel. "Lebih baik kau istirahat, besok kau kuliah kan?"
"Ya..." Aku mengangguk pelan. Kali ini, aku tidak membantah. Aku memang masih merasa lelah, dan jika aku tidak istirahat, mungkin aku besok tidak akan sanggup kuliah. Aku mengucapkan selamat malam padanya dan berjalan ke kamar. Aku hampir mengunci pintu kamarku ketika aku ingat bahwa aku lupa memberitahukannya sesuatu. Aku segera keluar kamar berjalan pelan ke dapur. Ia tampaknya bingung melihatku kembali.
"Ada apa?"
"Aku... cuma... ingin bilang terima kasih..." tanpa sadar mukaku memerah. Yah, aku telah mengizinkan seorang gadis melihatku menangis dan membiarkannya menenangkanku... Tentu saja rasanya memalukan apalagi mengingat ia ada di apartemenku sendiri.
Ia tertawa kecil melihat tingkahku dan tersenyum. "Sama-sama. Sekarang lebih baik kau cepat tidur sebelum kau benar-benar sakit."
Aku membalas senyumnya dengan senyum kecil. 'Selamat malam."
"Selamat malam."
11 PM
"Ah..." Ya, tengah malam begini aku terbangun dan tidak dapat tidur kembali, pasti insomniaku. Aku berjalan pelan keluar kamar dan duduk di ruang tamu, aku tidak ingin berjalan-jalan ke taman malam ini. Aku duduk di sofa, diam tanpa melakukan apapun.
Apa yang kulakukan?
Apa yang kukhawatirkan?
Mengapa hal itu terus mengganggu pikiranku?
Aku hanya ingin melanjutkan hidupku
Tanpa perlu memikirkan hal-hal yang lain
Aku melihat ke arah jendela dan menyadari sesuatu yang lain. "Hujan..."
Langit masih mau untuk menemaniku menangis.
Hanya langitkah temanku?
Sahabatku?
Aku membutuhkannya...
Hanya itu yang ku ketahui...
Aku membuka pintu teras dan berdiri mengamati langit, mengamati hujan yang menemaniku malam itu.
Biarkanlah malam tetap begini
Biarlah waktu terhenti selamanya
Agar kudapatkan kedamaianku yang abadi
Agar kutemukan dirimu dalam mimpiku
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" Aku berbalik dan mendapati Chise ada di depan pintu teras. "Jangan hanya diam, ayo cepat masuk! Kau akan sakit jika tetap disitu!" Aku berjalan masuk dan ia memberiku handuk kecil. "Lap tubuhmu, ganti bajumu, dan kembalilah tidur. Aku tidak mau kau sakit..."
Aku hanya tersenyum kecil, "Aku tidak bisa tidur."
Ia mendesah pelan. "Setidaknya beristirahatlah..."
"Ya..."
Temanku bukanlah orang yang menangis bersamaku
ataupun orang yang selalu mengikuti sifatku
Temanku adalah mereka yang menghiburku
dan selalu mencoba untuk mengerti diriku
Hari 4, 7.15 AM - 10 Agustus 2009
Aku berdiri di depan telepon, mataku terpaku pada selembar kertas yang berisi nomor telepon Perusahaan Hanatsukasa. Aku mendesah pelan, cepat atau lambat, aku tahu ia harus pergi. Kuangkat telepon dan mulai menekan angka-angka yang tertulis.
Beberapa menit kemudian, nada sambung terputus. Tak ada seorangpun yang mengangkatnya. Kututup kembali telepon itu dan duduk di sofa. Perasaanku tercampur antara sedih dan senang, kecewa dan puas. Jujur saja, setelah kemarin, rasanya aku ingin dia tetap berada dsisiku, melindungi dan dilindungi...
"Ichi, ayo sarapan." Setelah kudengar panggilannya, aku segera berjalan ke meja dan duduk berhadapan dengannya. Tampaknya ia bingung dengan tatapanku yang kosong.
"Ada apa?"
Aku menggeleng. "Nomor teleponnya tidak bisa dihubungi."
Ia terdiam. "...Ichi, apa kau ingin aku pergi?"
"Apa maksudmu?" Aku buru-buru menyela. " Tentu saja tidak! Hanya aku..." Tanpa kusadari, wajahku kembali memerah. Aku memang tidak menginginkannya pergi, bahkan aku ingin ia agar tetap disisiku selamanya. "Aku harus memberi tahu orang rumahmu kan..?"
Sekali lagi, ia memberiku senyuman manisnya, senyuman yang selalu membuatku merasa ingin bermanja-manja dipelukannya, dilindungi olehnya, menjalani hidupku ini bersamanya.
Ah, kenapa aku jadi terdengar lemah begini?
"Percayalah padaku..." ia menggenggam tanganku perlahan. "...tidak akan ada yang mencariku. Aku memang datang ke sini untuk menemanimu."
Aku menatapnya dan tersenyum. "Ya, terima kasih." Aku tidak ingin menanyakan kata-katanya lagi, aku tidak ingin mempermasalahkan semua itu. Aku hanya ingin agar ia tidak pergi, meskipun aku tahu itu hal yang mustahil.
Apakah hal ini akan tetap menjadi mimpiku?
Akankah ia menjadi seperti yang kuinginkan?
Mengapa aku tak bisa melepaskannya?
Apakah aku telah terikat dengannya?
9 AM
Sekarang aku merasa telah melakukan hal yang aneh...
Entah kenapa, untuk suatu alasan tertentu, aku tidak mau berpisah dengan Chise hari ini, benar-benar tidak mau. Tentu saja aku juga tidak berniat untuk membolos kuliah, tapi aku mengajaknya untuk pergi ke kampus denganku.
Oke, berhenti menatapku begitu.
Pagi ini aku menemui Takki di depan gerbang, ada yang harus kukatakan.
Takki menemuiku sambil berjalan santai seperti biasa, "Ya?"
"Nomor telepon yang kau berikan tidak bisa dihubungi." Kataku sambil mengembalikan kertas berisikan alamat dan nomor telepon perusahaan ayah Chise.
Ia memandangku dan kertas itu bergantian, bingung. "Apa kau yakin?"
Aku mengangguk. Chise masih mengikuti kami saat kami berjalan ke depan pintu ruangan kami. Takki menghela napas pelan, "Baiklah, besok akan aku coba mencari nomor lain atau alamatnya..." Takki berjalan masuk sementara aku masih menemani Chise di luar. Takki tampaknya tidak peduli dengan Chise, ia tidak menanyakan mengapa aku membawanya ke kampus, ia bahkan tidak menanyakan siapa Chise saat aku mengajaknya ke rumah Takki, dan hal itu hanya membuatku bertambah bingung.
"Berkelilinglah saat menungguku, kau tidak akan tahan diam terus disini. Kuliahku akan mulai sebentar lagi, hari ini akan selesai jam 3." Aku mulai berjalan masuk ke dalam ruangan, Chise melambai sedikit padaku sambil tersenyum.
Aku membalas senyum dan lambaiannya. "Jangan sampai tersesat."
"Tidak akan." Ia tertawa kecil."
3 PM
Aku benar-benar tidak dapat berkonsentrasi selama kuliah hari ini.
Aku terus memikirkan Chise, entah kenapa aku tidak dapat melupakannya... Aku takut ia tersesat, diculik, hilang, dan hal-hal bodoh lainnya yang aku tahu tidak akan terjadi padanya. Tapi tetap saja aku khawatir, yah... kau tahu... rasa khawatir yang tak beralasan... Hal yang paling melegakan dalam hidupku adalah saat aku melihatnya sedang berjalan santai di depan ruanganku ketika aku keluar.
"Ah," ia tersenyum melihatku dan menggandeng tanganku. "sudah selesai?"
Aku mengangguk dan menepuk-nepuk kepalanya, "Ya. Terima kasih sudah menungguku."
Ia tertawa lembut. "Jangan gunakan bahasa formal."
Aku ikut tertawa, "Maaf, sudah kebiasaanku. Ayo cepat, kita sudah terlambat..."
"Terlambat?" Ia menatapku bingung. "Kemana?"
"Kita terlambat makan siang, ayo."
Aku mengajaknya pergi makan di cafe dekat kampus, memang bukan makanan mahal, tapi rasanya cukup enak. Selesai makan, kami masih mengobrol di cafe, bersantai menikmati sore. Aku masih lelah setelah kuliah 5 jam, dan aku masih ingin berjalan-jalan dengan Chise.
"Eh? Ichi?"
Aku menengok ke belakang, kulihat teman satu kampusku, Kagami dan Mitsuru. "Ah, kalian..."
"Sedang apa?" Kagami bertanya, "Tidak biasanya kau di sini?"
"Hanya makan siang..." Mukaku kembali mulai memerah, sudah cukup Takki yang mengetahui kalau Chise adalah temanku, tapi apa yang akan mereka katakan kalau aku dan Chise makan siang bersama langsung selesai kuliah?!
"Oh... sendiri?"
Tunggu, apa yang ia katakan?
"Tidak, aku dengan teman..." kataku bingung.
"Ah, menunggu teman... Baiklah, kami duluan ya! Kami juga belum makan!" Mitsuru melambaikan tangannya dan berjalan menjauh dengan Kagami, sementara aku yang masih kebingungan hanya mampu menatap diam.
"Maafkan mereka..." akhirnya aku meminta maaf pada Chise, ia pasti kesal karena apa yang Kagami katakan.
Diluar dugaan, ia hanya tersenyum sedih. "Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Eh, aku benar-benar minta maaf..." Aku memandangnya lagi. "Aku tidak tahu kenapa..."
"Aku benar-benar tidak apa Ichi." Ia mulai tersenyum lembut. "Aku mengerti."
Aku tersenyum kembali padanya, tapi tetap saja aku bingung dengan perilaku Kagami dan Mikuru. Akhirnya aku mengajaknya pulang, lebih baik aku menghabiskan waktu dengannya di rumah.
9 PM
Aku berbaring di tempat tidurku, bersiap untuk tidur. Aku masih bingung dengan tingkah laku Takki dan perkataan Kagami. Mereka seakan menganggap Chise itu tidak ada... Dan yang kubingungkan adalah kenapa? Chise tidak pernah berbuat salah pada mereka, ia bahkan belum mengenal mereka tetapi kenapa-
"Ichi?" Chise membuka pintu kamarku sedikit, kepalanya melongok ke dalam. "Kau sudah tidur?"
Aku segera bangun dari tempat tidurku dan berjalan ke pintu. "Belum, ada apa?"
Aku terkejut saat ia tiba-tiba tersenyum dan memelukku erat, menatapku lembut. "Aku cuma ingin bilang selamat malam..."
"Ya, selamat malam..."
Malam itu, aku tidur dengan nyenyak tanpa insomniaku yang sering kambuh.
Hari 5, 5.30 AM - 11 Agustus 2009
Rasanya hari-hari indahku telah berakhir...
Bagus, aku baru saja bangun dari tidur dan tahu apa yang pertama kusadari? Kepalaku pusing, tenggorokanku sakit, suaraku serak, dan aku demam.
Hari ini aku akan merepotkannya lebih dari hari-hari sebelumnya...
Aku diam di kamar, menutupi seluruh tubuhku dengan selimut dan mencoba untuk kembali tidur, aku ingin demamku sudah sembuh pagi nanti, aku benar-benar tidak ingin lebih merepotkan Chise lebih dari sekarang. Aku kembali mengingat hari saat aku menemukannya di taman.
Ah...
Iya...
Masih ada satu hal yang belum kutanyakan...
Darimana ia bisa mengenalku?
8.30 AM
Ketika aku bangun, aku masih ada di kamar. Tetapi sudah ada sesuatu yang berbeda. Chise sudah duduk di pinggir tempat tidurku, sedang mengganti kompres yang ada di dahiku. Aku mencoba untuk bangun, tetapi aku merasa pusing dan tubuhku lemah. Aku hanya diam hingga ia menyadari bahwa aku sudah bangun. Aku menarik lengan bajunya perlahan.
"Ah, Ichi..." Ia menatapku khawatir. "Suhumu tinggi, ayo sarapan dulu." Aku menggelengkan kepala dan kembali memejamkan mataku. Ia mengguncang tubuhku perlahan, "Bangunlah... Kau harus sarapan, kalau tidak kau akan bertambah sakit nantinya..."
Akhirnya aku menurut dan berusaha untuk duduk. Ia memberikanku semangkuk bubur dan menungguiku makan. Aku memakan bubur itu perlahan, tentu saja rasanya tidak enak karena tenggorokanku sedang sakit. Tapi aku tidak ingin tetap merepotkannya, dan aku lebih memilih untuk cepat sembuh. Selesai makan, ia mengambil piringku dan membawanya ke dapur. Setelah itu ia memberiku obat dan meninggalkan kamarku.
"Aku akan ada di luar kalau kau butuh apa-apa," ia mengganti kompresku lagi. "istirahat dan kembalilah tidur, oke? Aku tidak mau mengganggumu."
Aku menatapnya saat ia berjalan keluar dan memejamkan mataku.
Aku benar-benar tidak bermaksud untuk merepotkannya, aku tidak ingin membuatnya melihat sisi lemahku, aku sama sekali tidak ingin untuk jatuh sakit untuk hari ini.
"Uhh..." lagi-lagi air mata mulai menetes ke wajahku. Kubenamkan wajahku ke bantal, aku tidak ingin ia bertambah khawatir dengan melihatku menangis. Kadang-kadang aku juga membenci diriku sendiri, kenapa aku selalu berpura-pura kuat? Padahal aku tahu kalau aku ini lemah, selalu terikat pada masa lalu, dan takut menghadapi kenyataan. Aku tidak mengerti.
Aku kembali membayangkan adikku, memikirkan apa yang akan dia lakukan kalau sedang berada dalam posisi Chise sekarang. Mungkin berbeda dengan Chise, ia akan memarah-marahiku terlebih dahulu sebelum akhirnya memberiku obat dan menungguiku. Air mataku jatuh lebih banyak, ke pipiku, ke bajuku, membasahi bantal yang kugunakan.
"Ah... ahaha...ukh..." perlahan aku tertawa kecil dalam tangisanku, mengingat kebodohanku sendiri. Aku ini jauh dari kuat, aku ini lemah, kenapa semua orang percaya kalau aku ini kuat? Mengapa mereka percaya dengan kebohongan-kebohonganku? Mengapa aku harus menutupinya?
Aku memang selalu menyalahkan diriku sendiri dalam untuk kematian adikku.
"Nii-chan!"
Aku tertegun. Masih berusaha untuk membedakan antara mimpi dan kesadaranku. Bagaimana mungkin? Aku hanya tak percaya kalau aku mendengar suara...
"Ichi nii-chan!"
...adikku.
Aku melihatnya sedang berlari ke arah seorang pemuda dan memeluknya erat.
"Ayo ikuuuut! Kita ke rumah ayah, pokoknya nii-chan harus ikut! Nii-chan sudah berapa tahun tidak mau ikut denganku mengunjungi ayah!" "Aku tidak mau!" Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Aku tidak mau ke rumah ayah, Hime! Harus berapa kali aku bilang?!" "Kenapa? Ayah ingin bertemu lho~!" "Tidak! Sudahlah!" "Ah, nii-chan kejam~" ia kembali memelukku erat. "Aku takut pergi sendirian~" "Kau pergi ke sana tiap bulan." Jawabku ketus. "Ayolah~" ia masih berusaha membujukku. "Apa nii-chan tega membiarkan anak perempuan seperti aku pergi sendiri~?" Aku menghela nafas, "Sudahlah Himeka... aku tidak akan pergi..." Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum manis. "Ya, ya. Aku tahu~ Aku hanya masih penasaran kenapa kau tidak mau pergi~" "Kubilang hubungan kami kurang baik." "Sudahlah, aku tidak mau membahasnya..." Ia mencium pipiku dan berjalan keluar apartemen. "Aku pulang agak malam ya! Makan siang sudah ada di lemari es!" "Ya..." aku melambaikan tangan dan duduk di sofa. "Dasar keras kepala..."
"J-jangan... ukh..." aku masih menangis, mencoba menggapai bayangannya. "K-kumohon... j-jangan pergi... Hi-hime..."
1.30 PM
"Ichi!" Panggilan Chise segera membangunkanku. Ia tampak lega setelah melihatku terbangun, ia duduk didekatku dan mengelus kepalaku perlahan. "Kau mengigau..."
Aku menatapnya bingung, kepalaku masih terasa agak pusing. "Jam berapa sekarang?"
"Sudah jam setengah dua siang, aku baru mau membangunkanmu untuk makan."
"Ah, iya..."
Aku kembali bangun dan bersandar pada tembok di belakangku. Ia memberiku sepiring nasi tim dan air hangat. Aku memakannya perlahan, pikiranku masih terpaku pada mimpi tentang adikku. Memori yang seharusnya sudah kusimpan dalam-dalam dan tak pernah kuingat lagi. Tapi kenapa? Aku tetap tidak dapat melupakannya begitu saja... Aku masih mengingatnya...
"Ichi... apa kau mau menceritakannya?" Chise menatapku lembut.
Aku menatapnya dengan pandangan bingung. "Apa?"
"Mimpimu. Tampaknya itu sangat mengganggumu..."
Aku tertunduk dan tersenyum lemah. "Tidak apa..."
"Mungkin dengan menceritakannya padaku kau akan merasa lebih baik..."
"Aku tidak apa-apa Chise..." aku mengembalikan piringku, makanannya baru kuhabiskan separuh. "Dan aku tidak lapar, aku hanya ingin kembali tidur..."
Ia menghela nafas. "Aku tidak mau melihatmu begini."
Aku terdiam sesaat. "Aku bermimpi... tentang adikku..."
Ia meletakkan piringku di atas meja samping tempat tidurku dan duduk di sebelahku. "Aku mendengarkan."
"Aku cuma..." aku kembali terdiam, menahan air mata yang hampir menetes. Aku tidak mau lagi menangis di hadapannya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir. "...aku teringat saat terakhir ia hidup. Ia mengajakku untuk... pergi dengannya... tapi aku tidak mau... dan- ukh..." Aku menghapus setetes air mata yang jatuh. Aku tidak akan menangis. Aku sudah berjanji. "Ia meninggal... Hari itu... dalam kecelakaan mobil... taksi yang dinaikinya tertabrak..."
Chise memelukku, "Tidak apa... Aku yakin ia juga tidak ingin melihatmu menangis..."
Aku membalas pelukannya, tanpa menangis lagi. "Ya..."
Aku sudah berjanji padamu
Aku tak kan bersedih
Aku tak kan menangis
tetapi aku akan selalu mengenangmu
8 PM
Demamku sudah turun, aku sudah dapat makan malam di meja makan lagi, dan aku cukup senang dengan hal itu. Selesai makan, Chise masih tidak mengizinkanku untuk membantunya membereskan meja dan mencuci piring, ia masih menyuruhku untuk segera beristirahat. Setelah mengucapkan selamat malam padanya, aku segera berjalan kembali ke kamarku untuk tidur. Tiba-tiba aku terhenti di depan kamar Chise-kamar adikku. Aku membuka pintunya perlahan dan masuk ke dalam.
Aku tersenyum kecil ketika melihat kamar ini, kamar yang sudah tidak kumasuki lagi setelah kematian adikku. Siapa yang menyangka hanya masuk ke kamarnya saja bisa membangkitkan kenanganku padanya? Aku mulai berjalan perlahan, melihat baju milik Hime, buku-bukunya, mainannya, tempat tidurnya, semua barang miliknya yang masih tertata rapi. Aku berjalan mendekati meja belajarnya dan mengambil sebuah pigura foto berisi fotoku dengannya. Aku sangat ingin untuk menangis, tapi aku sudah berjanji, dan aku tidak mau mengingkari janjiku.
"Ia sangat mirip denganmu..." suara Chise membuatku menoleh ke belakang, mendapatinya sedang tersenyum melihatku memegang foto tersebut.
Aku ikut tersenyum. "Tentu saja, ia adikku."
Hari 6, 9 AM - 12 Agustus 2009
Hari ini aku sudah jauh lebih ceria dibandingkan kemarin. Perhatian Chise padaku benar-benar membuat aku merasa sangat dibutuhkan, dan aku senang dengan hal itu. Aku berjalan masuk ruangan kuliah sambil tersenyum, hal yang hampir sudah tidak pernah kulakukan sejak kematian adikku. Dan tentu saja, Takki terkena serangan jantung saat melihat hal ini.
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan pada Ichi yang sebenarnya?" Takki menatapku dengan pandangan aneh.
Aku hanya tertawa pelan dan duduk di kursiku. Ia mengejarku dan menempati tempat duduk di sebelahku.
"Aku serius Ichi, apa yang terjadi padamu?" Tanyanya antusias.
"Bukan hal besar..." aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku-buku milikku di meja.
Ia mengangkat bahu dan ikut meletakkan buku-bukunya di meja. "Apapun 'bukan hal besar' mu itu, itu pasti cukup besar sehingga sanggup membuatmu tersenyum dan tertawa seperti ini..."
"Ya ya... apapun yang kau katakan..."
"Ah, Ichi," ia mulai merogoh sesuatu dari dalam tasnya, dan sepertinya tidak menemukan benda yang dicarinya. "Lupakan... aku lupa membawanya... besok akan kutunjukan padamu, datanglah ke rumahku besok pagi. Aku menemukan sesuatu tentang perusahaan yang kau cari alamatnya itu."
Aku menatapnya bingung. "Alamat atau nomor telepon?"
"Bukan dua-duanya, berita. Sudahlah, lihat saja besok..." Katanya santai.
Aku masih ingin menanyakan tentang apa yang ia temukan jika saja dosenku belum masuk dan memulai kuliah.
3.30 PM
Aku sudah bilang pada Chise bahwa aku tidak akan makan siang di rumah hari ini, dan aku baru saja selesai makan di cafe tempat aku dan Chise makan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjalan keluar ketika (lagi-lagi...) aku berpapasan dengan Kagami dan Mitsuru.
"Ichi-kun! Mau makan dengan kami?" Mitsuru melambai dan mendekatiku diikuti oleh Kagami.
"Ah, aku baru selesai makan... Lagipula aku harus segera pulang... Aku ada janji..." aku berusaha menghindar.
"He? Dengan siapa?"
"Dengan Chise, ah, maksudku, gadis yang kuajak makan disini beberapa hari yang lalu..." mukaku kembali memerah.
"Wah~ Ternyata waktu itu Ichi menunggu teman perempuannya~" Kagami mulai melihatku dengan tatapan nakal. "Lalu? Apa kau sudah mengatakan perasaanmu padanya?"
"Itu... sama sekali tidak seperti yang kau kira!" Mukaku bertambah merah, bicaraku jadi tidak jelas karena panik. Ah! Apa yang terjadi?!
"Sudah kuduga! Ichi punya pacar!" Mitsuru berteriak dan bertepuk tangan.
"Jangan teriak-teriak!"
"Ichi malu-malu~" Kagami hanya memperburuk keadaan dengan menggodaku.
"Sudahlah!" Aku segera pergi dari tempat itu sementara Kagami dan Mitsuru menertawakanku, tentu saja aku masih dengan muka yang merah. Aku tidak mau lagi dikerjai oleh dua gadis itu.
4 PM
"Tadaima..." Aku berjalan masuk dan membuka sepatuku. Chise segera keluar dari kamarnya dan menyambutku.
"Okawari." Ia membantu membawa tasku ke kamar dan mengambilkanku minuman.
"Ah, terima kasih..." wajahku kembali memerah saat wajahnya berada dekat dengan wajahku, Kagami dan Mitsuru akan menerima balasannya besok karena sudah membuatku seperti ini...
Chise terlihat bingung, "Ichi-kun? Wajahmu merah, apa kau sakit lagi?" ia meletakkan tangannya di dahiku untuk mengukur suhuku.
"A-aku tidak apa!" Aku segera melepaskan tangannya dan meminum teh yang ia buatkan untukku. Terlalu terburu-buru sehingga tersedak... Ah... Dasar bodoh...
Ia tertawa kecil, "Pelan-pelan..." ia tersenyum lembut padaku.
"I-iya..." Mukaku kembali memerah dan mencoba tersenyum padanya. "A-aku mau istirahat di kamar!"Aku segera berlari ke kamarku, meninggalkan Chise yang menatapku dengan tatapan bingung dan lucu.
Di kamar aku hanya diam sambil menyalahkan diriku sendiri, bagaimana aku bisa bertingkah sebodoh itu di hadapannya?! Aku berbaring di tempat tidurku, menghela napas pelan. Hembusan angin dari jendela mulai menerpa wajahku, heningnya sore ini lama kelamaan membuatku mengantuk. Aku mulai menutup mataku perlahan.
Ah iya...
Takki bilang ia menemukan sesuatu tentang perusahaan ayah Chise...
Aku belum menanyakan hal apa itu...
7.30 PM
"Ichi! Makan malam sudah siap!"
"Engh... Huh?"
Aku terbangun di kamarku, kulirik jam yang ada di meja.
Sudah jam setengah 8 malam...
Aku berjalan keluar, masih agak mengantuk. Di meja makan, Chise sudah duduk dan menungguku. Ia tersenyum kecil melihat rambutku yang berantakan. "Baru bangun?"
Aku merapikan rambutku dan mukaku memerah, "Aku tertidur."
Ia tertawa. "Ya... ya... Ayo makan kemudian mandi, tadi Takki meneleponmu."
"Huh?" Aku duduk di depannya, bersiap makan. "Ia bilang apa?"
"Ia cuma mengingatkanmu untuk datang ke rumahnya besok."
"Ah, ya..."
Selesai makan, aku segera mandi dan mengirim pesan untuk Takki agar ia tahu aku akan datang jam 8 besok pagi.
Aku kembali ke kamar, duduk di tempat tidur sambil menonton televisi. Hanya kegiatan biasaku saat tak ada hal lain yang dapat kukerjakan. Aku masih memikirkan apa yang Takki temukan tentang Perusahaan Hanatsukasa...
10.25 PM
Aku masih tidak bisa tidur, mungkin karena tadi sore aku sudah tidur agak lama. Tiba-tiba aku mendengar ketukan dari pintu kamar. Segera kubuka pintu dan melihat Chise yang berdiri di depan pintu. Aku menatapnya bingung. "Chise? Kau belum tidur?"
Ia menatapku gugup, "Ah... Itu... Aku cuma...itu..."
"Ada apa?" Aku menatapnya bingung.
Perlahan ia memelukku pelan dan membenamkan wajahnya di dadaku. Aku tertegun, perlahan aku membalas pelukannya, mengelus rambutnya dengan lembut. Akhirnya ia melepas pelukannya dan menatapku. Wajahnya terlihat lebih merah daripada wajahku tadi sore. "A-aku cuma ingin bilang terima kasih atas semua hal yang sudah kau lakukan..."
Wajahku ikut memerah, "Ah, itu... ng..." Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, aku sangat bingung! . "...eh... aku yang harus berterima kasih... kau sudah banyak membantuku..."
Ia menatapku masih dengan wajah yang tersipu, tapi sekarang diiringi dengan senyuman manis. "Sama-sama... Selamat tidur..."
Aku membalas senyumannya, "Ya, selamat tidur."
Hari 7, 7.30 AM - 13 Agustus 2009
Ketika bangun, sudah turun hujan deras pagi ini. Aku segera mandi dan sarapan dengan Chise. Selesai makan, aku segera mengambil jas hujanku untuk pergi ke rumah Takki.
"Ichi..." Chise memanggilku dari dapur. "Kau akan pergi ke rumah Takki?"
"Ya." Aku segera memakai sepatu. "Ia bilang ia telah menemukan sesuatu tentang perusahaan ayahmu, aku akan pergi ke sana untuk mengeceknya."
Tiba-tiba saja Chise terdiam. Ia berjalan keluar dari dapur dan menatapku lekat-lekat. Aku mulai bingung dan gugup dengan tingkahnya.
"Err... apa aku lebih baik tidak pergi?" Tanyaku pelan.
Ia menundukan kepalanya dan menggeleng, "Tidak, pergilah." Ia berjalan mendekatiku dan memelukku erat. "Terima kasih untuk semuanya..."
Aku hanya berdiri dan mengelus rambutnya dengan lembut. "Hei.. tenanglah... Kau masih dapat mengunjungiku setelah kau kembali nanti kan?"
Ia melepas pelukannya dan tersenyum sedih. "Kau tidak mengerti..."
"Kalau begitu buat aku mengerti." aku menatapnya kesal. "Aku memang sama sekali tidak mengerti maksudmu, dan aku tidak tahu dari mana kau bisa mengenalku!"
Ia hanya menatapku dan tersenyum. "Kau akan mengerti nanti. Pergilah, kau tidak mau membuat Takki menunggu."
Aku menghela nafas pelan. "Maaf aku berteriak padamu..." ucapku lirih. "Aku pergi dulu."
"Selamat jalan."
8 AM
"Oi, Takki..." aku mengetuk pintu rumahnya sekali lagi. Rasanya aku ingin sekali menendangnya jika saja Takki tidak keluar saat itu juga. Ia hanya berjalan santai seperti biasa sambil bersenandung, dan itu semakin membuatku muak.
"Ayo masuk..."
Aku masuk dan melempar jas hujanku ke dalam. "Apa kau tahu aku sudah berjalan hujan-hujan ke sini?!"
Ia hanya tersenyum. "Sudahlah, lupakan saja. Aku punya sesuatu yang harus kutunjukkan."
Aku berjalan sambil memberikannya tatapan kesal. Tatapanku berganti dengan tatapan tak percaya segera saja ketika ia menunjukan beberapa lembar kertas yang baru saja dicetak dari komputernya. Aku terdiam selama beberapa saat.
"Kau berbohong."
"Apa maksudmu aku bohong? Kau minta tolong padaku untuk mencari data tentang perusahaan itu dan aku hanya memberitahukannya kepadamu!" ia agak berteriak.
"Tapi ini tidak mungkin Takki!" Aku berbalik meneriakinya, "Pasti ada kesalahan! Seseorang yang kukenal tinggal di sana dan tak mungkin gedung itu sudah hancur dari lebih 10 tahun yang lalu!"
Giliran Takki yang menatapku dengan tatapan tak percaya. Tubuhku mulai melemah dan aku jatuh terduduk di lantai. Mataku masih terpaku pada kertas-kertas itu. Aku benar-benar bingung. Rasanya aku ingin segera lari pulang dan menanyakan pada Chise apa yang sebenarnya terjadi... Tapi aku juga ingin diam disitu, tidak melakukan apapun.
Akhirnya Takki membantuku berdiri dan duduk di sofa. "Siapapun yang mengatakan padamu kalau ia tinggal di sana, ia berbohong Ichi. Itu bukan hal besar, sudahlah..."
"Chise yang mengatakannya."
"Siapa?"
"Chise, gadis yang waktu itu kuajak ke rumahmu dan ke kampus..." Aku berkata lemas.
Ia menatapku dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu Ichi? Kau tidak mengajak siapapun ke kampus beberapa hari terakhir ini, dan waktu kau datang ke sini, kau sendirian! Kau sama sekali tidak mengajak siapapun!"
Apakah itu mimpi? Apakah itu kenyataan?
Aku menatapnya dengan kesal, harus berapa orang lagi yang memperlakukan Chise seperti itu?! "Jangan bodoh Takki! Aku tahu aku mengajaknya! Dan tidak mungkin kalau kau tidak menyadarinya!"
"Aku serius Ichi! Kau selalu sendirian! Mungkin kau salah ingat dan bukan mengajaknya ketempatku!"
Mimpiku terlihat seperti kenyataan, dan kenyataanku terlihat seperti mimpi
Aku tetap berteriak kesal. "Aku tidak mengajak Chise ke banyak tempat, dan aku sangat yakin kalau aku mengajaknya ke sini!"
Tiba-tiba saja aku berhenti. Aku menjadi bingung dengan semua hal... Karena hal itulah Kagami mengatakan kalau aku sendirian waktu di cafe? Karena aku memang tidak pernah mengajak Chise ke sana?
Dimanakah mimpiku? Dimanakah kenyataanku?
Tapi itu tidak mungkin! Aku ingat Chise ada di sana! Aku masih ingat semua pembicaraan kami! Tidak mungkin jika itu semua hanyalah imajinasiku saja!
Tak dapat kubedakan, begitu pula kutemukan.
Aku menggenggam erat kertas yang Takki berikan padaku dan langsung berlari ke pintu keluar. Aku menerobos hujan dan berlari kembali ke arah apartemenku, tak menghiraukan panggilan Takki. Aku harus meminta penjelasan Chise tentang semua ini...
"Chise!" aku membanting pintu dan berteriak saat masuk, aku tidak peduli jika ia marah padaku, akulah yang seharusnya marah karena telah ditipu olehnya! Tapi begitu aku masuk, sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa Chise ada di rumah. Ruang tamu, dapur, kamar mandi, semua ruangan kosong. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Chise pernah ada di kamar adikku. Semuanya terlihat seperti biasa, tak ada yang berubah sama sekali.
Lama kelamaan aku mulai tertegun, diam, kaget, terkejut, sedih, bingung, semua perasaanku tercampur menjadi satu. "...Chise? Kau dimana?"
Apakah mimpiku? Apakah kenyataanku?
Aku kembali jatuh terduduk di lantai, air mata mengalir deras di wajahku.
Aku tidak mengerti...
Chise ada disana...
Aku tahu itu...
Semua hal yang sudah ia lakukan untukku...
Bagaimana mungkin itu hanya menjadi imajinasiku?
Aku dapat menyentuhnya dan berbicara dengannya...
Tapi
Hanya aku yang bisa...
Mengapa?
Chise itu...
...siapa?
Dua hal yang masih ku cari, hingga aku dapat menemukannya.
Perlahan-lahan aku membalik lembaran kertas yang Takki berikan kepadaku. Ada hal lain yang tercetak di bagian belakang kertas itu, daftar nama korban yang meninggal saat gedung itu terbakar 12 tahun yang lalu. Aku menjatuhkan kertas itu tepat ketika membaca nama yang tertera paling atas, tubuhku terkulai lemas.
Chise Hanatsukasa.
end