8.23 PM

RS Shizuoka, Japan.

"Tidak mau!" aku berteriak dengan kasar kepada Fuka. "Aku tidak akan membiarkan kau menyerahkan Riku padanya!"

"Tapi, Ikki…" Fuka menghela napas. "Aku tidak bisa hanya membuatnya tinggal bersamaku begitu saja, aku harus meminta izin kepada 'wali'nya kan? Kalau tidak begitu, akan sama saja hukumnya dengan penculikan—"

"Walinya adalah aku!" kali ini, kesabaranku hampir habis. "Aku saudara kandung Riku! Bukan seperti orang itu! Orang seperti dia tidak pantas diakui sebagai ayah! Tidak pantas dianggap sebagai manusia!

"N-nii-san…" Riku memandangku dengan takut, aku tahu ia benci jika aku mulai membicarakan ayah kami. Ayah? Tepatnya ayah angkat. Walaupun aku tidak akan pernah mau mengakuinya, dan tiak pernah lagi memanggilnya 'ayah' sejak umurku 12 tahun.

Aku menghiraukan Riku dan kembali berpaling ke arah Fuka. "Riku akan tinggal denganmu, atau denganku! Tidak akan kuizinkan dia untuk tinggal dengan orang itu!"

"Ikki, tubuhmu lumpuh, dan Riku masih dibawah 15 tahun. Ia masih ada dalam perlindungan hukum. Jika tidak ada yang bisa mengurusnya, ia harus dikembalikan pada walinya, atau dibawa ke panti asuhan.

"Jangan pernah berharap." Kataku geram. "Memangnya kenapa kalau aku terkena stroke ringan? Aku masih bisa bekerja! Riku masih bisa tinggal denganku!"

"Tidak mungkin, kata dokter tubuhmu akan lumpuh selama hampir beberapa bulan, kau tidak akan bisa bekerja dulu."

"Apa kau sungguh-sungguh akan membawa Riku padanya?! Apa kau yakin dengan apa yang kau lakukan?!" Aku membentak. "Apa kau tahu apa yang akan ia lakukan pada Riku kali ini?"

Ayah kami baru saja dibebaskan dari penjara beberapa bulan yang lalu. Karena perbuatannya pada aku dan Riku, ia mendapat hukuman penjara, 9, atau 10 tahun, entahlah. Tapi berapa lamapun ia menghilang, aku tidak akan pernah dapat melupakan perbuatannya pada kami dulu.

"Kak…" Riku yang masih berumur 5 tahun menggenggam bajuku erat. Ia meringkuk di lantai di sebelahku, tidak dapat bergerak. "S-sakit… aku lapar…"

"Sebentar, sebentar lagi…" aku memeluknya erat. "Ayah akan pulang membawa makanan, bersabarlah sedikit lagi."

"Aku tidak bisa…" suaranya terdengar semakin pelan."Rasanya sakit sekali… aku tidak bisa… ukh…"

"J-jangan tertidur..! Tetaplah bangun, sebentar lagi, kumohon..!" aku mulai menangis. Aku tidak tahan melihat satu-satunya adik dan keluargaku, menderita seperti ini, sementara aku sama sekali tidak dapat menolongnya. Tidak dapat melakukan apapun.

"S-sakit… kumohon…nii-san…"

Aku tersentak ketika ayah tiba-tiba masuk dari pintukamar membawa sebuah kantong plastik berisi makanan. Ia memandang kami dengan bingung. "Ikki, Riku? Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Ah, ayah!" aku segera menghampirinya. "R-Riku, dia—"

"Kalian tahu kalian tidak boleh bermain di kamarku 'kan?"

Apa?Apa yang dia katakan?! Riku sakit! Apa maksudnya dengan perkataan itu.?! "B-bukan..! Riku! Dia tiba-tiba saja terjatuh! Dia kelaparan, kumohon! Biarkan Riku makan lebih dulu! Riku sudah—"

"Sekarang cepat keluar dari kamarku." Ia membawa aku dan Riku keluar dari kamarnya dan memasukkan kami ke dalam gudang. "Aku ingin makan, dan aku tidak mau diganggu oleh permainan kalian, mengerti?" Ia membanting pintu itu dengan keras dan menguncinya dari luar.

Aku hanya dapat memandang ke arah pintu dengan kebingungan. Aku sama sekali tidak mengerti, ada apa. Kenapa ayah jadi seperti ini?! Biasanya, ayah selalu sayang pada aku dan Riku, tapi, kenapa..?!

"Ayah!" Aku memukul-mukul pintu sekuat tenagaku untuk mencoba membukanya. "A-Ayah! Kumohon buka pintunya! R-Riku..! Ukh… Ayah! Aku mohon, tolong Riku!" aku jatuh terduduk di lantai dengan napas terengah-engah. "A-aku mohon… Riku…"

"Maaf, ini salahku…" Riku mulai menangis pelan. "I-ini karena ia membenciku…"

Membencinya?

"Apa maksudmu, Riku? Ayah tidak membencimu, dia tidak membenci kita, kumohon, bersabarlah, ya? Aku juga tidak tahu ada apa, tapi bersabarlah…""

"T-tidak, ayah memang hanya menyayangi nii-san, tapi ayah membenciku…" ia berkata lemah "Saat Ikki masih di sekolah, a-ayah selalu… memukuliku… dan melukai a-aku…" Riku berusaha menjelaskan tergagap, suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar. Dan suaranya gemetar. Ketakutan.

Aku memandang Riku dengan tak percaya dan segera menghampirinya. Dengan susah payah kusandarkan Riku di dinding dan membuka jaket serta kemejanya, aku terbelalak.

Darah.

Tubuh Riku penuh dengan memar dan luka. Bahkan darah berwarna merah pekat masih mengalir dari beberapa luka-lukanya. Aku memandangnya tak percaya, bagaimana bisa?! Apa karena ini ia selalu tampak kesakitan? Karena ini ia selalu menolak untuk pergi berenang denganku? Karena ini ia terlihat sangat akut pada ayah? Padahal, saat aku di rumah, ayah selalu bersikap biasa-biasa saja! Mengapa Riku diam?! Dan yang terpenting, mengapa aku tidak pernah menyadarinya? Padahal, ayah sudah melukainya sampai separah ini...

"Dia yang melakukan hal ini?! Apa dia yang mekukannya?!" aku berteriak pada Riku. "Jawab aku!"

"A-Ayah yang melakukannya! K-kumohon, jangan marahi aku..! M-maafkan aku, a-aku t-tidak akan… melakukannya… maaf..!" Riku berusaha melepaskan tanganku dengan gemetar. "Maafkan aku… n-nii-san… A-aku…"

Aku meninggalkan Riku di sana dan kembali berusaha mendobrak pintu gudang, Aku harus membawanya keluar dari sini, aku harus meminta bantuan seseorang, aku harus menebus kesalahanku pada Riku, aku harus melindunginya! "Buka! Buka pintunya! Cepat buka!" aku menendang dan menggedor pintu itu sekuat tenaga.

Tiba-tiba ayah membuka pintu gudang. Ia menatapku dengan dingin. "Apa lagi?!" Pandangannya berpindah ke arah Riku yang sedang berusaha untuk memakai kembali kemejanya. Riku segera mengambil jaketnya dan dengan ketakutan berusaha menutupi tubuhnya yang penuh luka. Ayah segera menghampirinya dan merebut jaketnya. "KAU MEMBERI TAHUNYA?!"

"M-maafkan aku..!" Riku berusaha melindungi tubuhnya dengan lengan. "A-aku tidak sengaja… aku… aku…"

Tanpa pikir panjang, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari keluar gudang dan mengambil telepon, segera kuhubungi nomor darurat polisi sementara teriakan Riku yang pilu masih terdengar dari arah gudang, beradu dengan suara pukulan, tendangan, dan bentakan ayah.

"Ikki, semua orang dapat berubah, tidak bisakah kau memberinya kesempatan kedua?" Fuka berusaha membuatku mengerti. "Kita tidak punya pilihan lain."

"Kesempatan kedua?! Pada kesempatan pertama, ia sudah berhasil membuat Riku masuk rumah sakit selama 6 bulan, dan menurutmu, apa yang akan ia lakukan pada 'kesempatan kedua'nya Fuka?!"

"Tapi, Ikki—"

"N-nii-san, Fuka-chan, sudahlah..." Riku berusaha menengahi kami.

"JANGAN IKUT CAMPUR!" Aku membentaknya dengan kasar.

Tiba-tiba, Riku mulai meneteskan air mata. Menangis. Tangisan pelan yang lama kelamaan bertambah keras, menjadi menangis terisak.

Aku menghela napas pelan. Apa yang kulakukan? Bukannya melindunginya, akhirnya justru aku yang melukainya, aku yang kembali membuatnya ketakutan, padahal aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuatnya sedih…

"Riku," aku memanggil. "Ke sini."

Dia hanya menggeleng pelan dan berusaha mengehentikan air matanya yang terus mengalir. Tangisannya akhirnya bertambah pelan saat ia berhasil mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Riku, ke sini." Aku kembali mengulangi perintahku dengan nada yang lebih tegas. "Jangan membuatku memaksamu."

Akhirnya, dengan agak terpaksa, Riku mulai mendekat ke arah tempat tidurku dan berdiri di sampingku. Matanya masih berlinang air mata, tapi ia tidak menangis. Ia takut aku akan membentaknya lagi jika ia menangis. Perlahan-lahan kucoba untuk mengangkat tanganku, terasa berat, tapi bisa kugerakkan sedikit. Aku mulai menggengam tangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk marah."

Ia memandangiku dengan sorot matanya yang ketakutan untuk sesaat, tiba-tiba saja pandangan matanya berubah dan ia kembali menangis, membenamkan wajahnya di pinggir tempat tidurku. "Aku hanya ingin bersamamu…" ia berbisik pelan. "Kumohon…"

Kembali aku mencoba untuk menggerakan tanganku, membelai rambutnya yang halus. "Iya, tidak apa-apa." Aku memejamkan mataku. "Semua baik-baik saja. Kita akan selalu bersama, kita akan selalu bersama.