"Sudah kubilang aku tidak mau sekolah di Tokyo!" Takuya berkata dengan kesal. "Kenapa sih, nii-san selalu memaksaku untuk pindah sekolah di Tokyo? Apa kau tidak tahu kalau Tokyo itu sangat jauh dari sini, dan biaya sekolahnya akan jauh lebih mahal dari pada sekolahku yang sekarang!"

"Lalu kau pikir untuk apa aku bekerja susah payah untuk mengumpulkan uang? Dasar bodoh!" aku membalas dengan kasar. "Untuk aku pakai sendiri? Tentu saja bukan! Aku ingin kau dapat pendidikan yang lebih baik dari pada disini!"

"Tapi aku tidak mau sekolah di Tokyo! Aku tidak mau!" Takuya mulai berteriak frustasi. "Nii-san mulai bertingkah seperti ibu lagi! Selalu saja memaksakan apapun tanpa mempedulikan perasaanku! Memangnya—"

"Berhenti bicara seperti itu!" aku membentak dan menampar Takuya dengan geram. "Dulu ibu selalu mementingkan kebutuhanmu dibandingkan yang lain! Apa kau pantas berbicara seperti itu?" Ibu selalu mementingkannya, menyayanginya, memperhatikannya lebih dari aku. Apa lagi yang ia inginkan? Aku benci jika ia mulai berbicara seperti itu tentang ibu, dan masalahnya, Takuya selalu mengungkit-ungkit hal itu jika kami bertengkar. Kadang kadang hal itu bisa membuatku lupa diri.

Takuya memandangku dengan tatapan dingin, tangannya menyentuh pipi kirinya yang merah terkena tamparanku. Setetes air mata mengalir di pipinya, dan saat itu aku tahu kalau aku sudah melukainya melewati batas yang seharusnya.

Aku menghela napas, "Sudahlah, lupakan saja. Kita bicarakan hal ini nanti…"

"Nii-san jahat!" ia memotong ucapanku dan berlari ke arah pintu keluar. "Aku tidak mau sekolah di Tokyo! Aku tidak mau dipaksa-paksa oleh nii-san lagi! Kenapa kau tidak lebih memperhatikan perasaanku sedikit?" ia membanting pintu dan meninggalkanku.

"Ah, H.. Hiro…"

Panggilan Mio menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh ke belakang dan mendapatinya berdiri di depan pintu dapur dengan wajah khawatir. "Kau tidak apa-apa?" ia berjalan ke arahku dan menyentuh bahuku lembut.

"Cuma pertengkaran biasa." Aku menepis tangannya perlahan dan berjalan ke arah kamarku. "Aku mau istirahat, kalau urusanmu sudah selesai, pulanglah."

"ya…"

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur dengan lemas. Mio adalah teman, sahabat, pacar, dan kekasihku. Yah, status-status semacam itu. Sejak ibu meninggal, setiap hari ia datang ke tempatku untuk membantuku mengurus rumah, memasak, ataupun hanya untuk menemaniku. Aku sendiri bingung kenapa ia mau melakukan hal-hal bodoh itu untuk kami.

Ada masalah yang lebih penting dibandingkan hal itu. Aku masih tidak mengerti mengapa Takuya tidak mau sekolah di Tokyo! Dari dulu, ibu selalu ingin agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang bagus, karena itu aku berusaha agar Takuya bisa bersekolah di sana. Dan sekarang, setelah uang yang susah payah kukumpulkan cukup untuk menyekolahkannya di Tokyo, Takuya dengan mudah menolaknya begitu saja. Sempurna. Entah bagaimana hidupku bisa lebih buruk dari ini.

Terdengar ketukan pelan dari arah pintu dan Mio masuk ke kamarku, masih dengan raut wajah cemas. "Apa tidak apa-apa membiarkan Takuya pergi malam hari begini? Ia belum pulang sampai sekarang, apa tidak lebih baik kalau kau mencarinya?" Tanyanya khawatir.

"Tidak perlu." Aku menjawab ketus. "Percuma, dia tidak akan mau peduli apapun yang kukatakan. Biarkan saja."

"Tapi Hiro-"

"Sudahlah Mio, kumohon. Aku tidak mau membahasnya lagi." Aku mulai meninggikan nada suaraku. "Jika kau memang sudah selesai, pulanglah. Biarkan aku sendiri."

"Ya, maafkan aku..." ia menjawab lesu dan perlahan-lahan menutup pintu kamarku. "Aku mencintaimu."

"Terserah."

Aku terbangun pagi itu saat mendengar suara dari dapur. Aku mengerjapkan mataku sesaat sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur.

"Ah, selamat pagi." Mio tersenyum saat melihatku yang masih berantakan masuk ke dapur. "Maaf aku membangunkanmu. Aku sedang membuat sarapan."

"Ya…" aku menjawab pelan dengan suara yang mengantuk. Aku memiliki kerja sambilan sebagai seorang pelayan restoran dari hari Senin sampai Jumat, dan biasanya aku bangun siang saat jadwalku kosong. Karena itu Mio hanya datang pagi saat akhir minggu.

Aku berjalan sambil menguap ke arah ruang makan sambil membawa kopi hangat yang dibuatkan Mio. Aku terhenyak saat melihat Takuya yang sudah duduk di meja makan sambil meminum segelas teh hangat.

Begitu sadar aku datang, ia hanya memandangku dengan tatapan kosong dan tetap terdiam. Aku duduk disebelahnya, ikut terdiam. Apa yang harus kukatakan?

"Kapan kau pulang?" aku mencoba memulai pembicaraan.

"Barusan."

"Tadi malam kau menginap di mana?"

"Rumah teman."

Hening.

Aku memang masih kesal karena pertengkaran kami tadi malam, tapi aku tidak mau kami terus seperti ini.

"Nii-san…" Takuya memanggilku pelan. "Aku tidak mau sekolah di Tokyo…"

Aku menghela napas, "Sudahlah, Takuya. Aku tidak mau membicarakannya sekarang. "

"Jawab dulu..!" ia agak berteriak. "Aku tidak mau sekolah di Tokyo! Dan aku tidak akan berhenti membicarakannya sebelum kau memberikan kepastian!"

"Memangnya kenapa?" aku balas berteriak. "Kenapa kau selalu menolak? Apa kau tidak tahu aku sudah bekerja keras untuk dapat menyekolahkanmu di sana? Ibu selalu menginginkanmu agar bisa lebih baik dariku! Aku mengerti itu! Aku menghargai itu! Karena itu aku berusaha untuk memenuhi keinginannya walaupun ibu sudah…" Aku terdiam sesaat, "…sudah meninggal."

"Aku tahu, tapi—"

"Tapi apa lagi?" aku memukulnya dengan kesal. "Kau hanya ingin bertengkar denganku? Kau hanya senang mempermainkanku, begitu?"

"Aku tidak mungkin menolaknya hanya karena alasan bodoh seperti itu!" Ia berteriak kencang dan sama seperti tadi malam, menggenggam erat pipinya yang bertambah lebam setelah kupukul. Hanya saja, kali ini ia membalas pukulanku dengan tendangan yang cukup keras.

Sakit.

"Lihat? Nii-san memang egois! Apa sebelum semua ini, kau pernah menanyakan bagaimana perasaanku kalau bersekolah di Tokyo? Apa kau pernah menanyakan bagaimana keadaanku di rumah saat kau pergi kerja? Apa kau pernah meluangkan sedikit saja waktumu denganku sejak kematian ibu?" ia berteriak. "Jawab aku!"

Mio tersentak saat masuk ke ruang makan dan melihat kami kembali bertengkar. Ia memandang kami dengan tatapan khawatir dan berusaha mendekatiku."H.. Hiro! T.. Takuya-kun! Kumohon hentikan—"

"Jangan ikut campur!" aku membentak dan memukul meja makan. Mendengar bentakanku, Mio berhenti dan terdiam, begitu juga Takuya. Ia langsung berjalan keluar tanpa mengatakan apapun, lagi-lagi meninggalkanku berdua dengan Mio.

Aku hanya memandang Mio yang masih diam tertunduk. Tampaknya ia takut karena perlakuanku, dan aku merasa agak bersalah karena hal itu. Tapi aku benar-benar tidak mau berbicara dengan siapapun saat ini. "Maaf aku berteriak. Jangan masuk ke kamarku dulu." Aku berkata pelan dan meninggalkannya di ruang makan sementara aku kembali ke kamarku. Saat itu, meskipun dari dalam kamar, aku tetap dapat mendengar isak tangisnya yang lemah.

Aku berjalan keluar kamar dan menuju ke kamar Riku dengan gelisah. Setelah sanggup menenangkan diriku dan mencoba untuk berpikir sebentar, aku mengakui bahwa semua yang dikatakan Riku memang benar. Tentang aku yang egois dan selalu tidak memikirkan perasaannya. Aku menghela napas. Aku harus bicara padanya, aku tahu itu. Kami tidak bisa hanya bertengkar dan diam tanpa melakukan apapun.

Saat sedang berjalan di lorong, aku mendengar suara lembut memanggill namaku.

"Hiro..."

Aku tertegun.

Dari ruang tamu...

Aku segera berlari ke arah ruang tamu dengan cemas, dan menemukan Mio yang sedang tertidur di sofa sambil mengigau.

"Hiro..."

Bodoh.

Aku duduk di sebelahnya, mengelus rambutnya pelan. "Aku di sini..."

Mendengar suaraku, Mio mengernyitkan dahinya dan membuka matanya, terbangun sambil menatapku. Aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan memalingkan wajah.

"Ah, aku tertidur." Ia berkata pelan dan duduk di sofa sambil bersandar, masih berusaha mengembalikan kesadarannya. Beberapa saat kemudian ia langsung bangkit dari sofa dengan panik. "H.. Hiro? Maaf aku tertidur! Tadi aku agak lelah."

"Hmm..." Aku hanya menjawabnya dengan menggumam singkat dengan wajah yang masih agak memerah. Aku ingin minta maaf karena sudah membentaknya tadi, tapi bagaimana? Apa yang harus kukatakan?

"Aku ke dapur dulu," Mio langsung berjalan pergi seolah olah berusaha menjauhiku. "Aku belum memasak untuk-"

Tiba tiba ia jatuh terduduk dengan napas terengah-engah. Aku segera menghampirinya dan mencoba membantunya berdiri. Mio hanya merintih kesakitan dan berbisik pelan, "Sakit... Ukh, sesak... Hiro... Tolong..."

Dengan susah payah aku memapahnya ke kamarku dan membaringkannya di tempat tidur. Kuletakkan tanganku di dahinya dan memandangnya dengan khawatir.

Demam...

Kenapa dia datang? Kenapa saat demam dia justru datang ke tempatku? Kenapa dia masih saja memikirkanku saat aku sudah bersikap kasar dan dingin kepadanya?

"Bodoh..." Hanya itu yang bisa kukatakan saat mengelus kepalanya lembut. Ya, dia mungkin memang bodoh. Tanpa mengatakan apapun lagi, aku berjalan keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil obat.

"Nii-san," aku menoleh dan melihat Takuya di depan pintu dapur dengan mata yang sembab dan mengantuk. "Sedang apa?"

"Mencari obat." Aku berujar singkat dan kembali meneruskan aktivitasku mencari obat demam milikku yang kusimpan di laci dapur.

"Heh, jangan bilang kau baru sadar dia sakit?" Takuya tersenyum mengejek. "Kau memang tidak pernah peduli pada apapun, ya kan?"

Aku menatapnya bingung. "Maksudmu?"

"Sedikit informasi untukmu, dia sudah demam seperti itu sejak 2 hari yang lalu. Dan bodohnya, dia masih saja mau datang ke rumah untuk membantu orang sepertimu." Takuya tertawa sinis. "Lihat saja apa akibatnya?"

"Kenapa kau tidak bilang padaku?" Aku bertanya geram. "Kenapa kau tidak menyuruhnya pulang atau-?"

"Bagaimana caraku memberitahumu? Bagaimana?" Takuya membalas. "Sejak dua hari yang lalu kau pergi kerja dan pulang malam, kemarin kita bertengkar, dan sekarang keadaan justru bertambah buruk! Bagaimana aku bisa memberitahumu? Lagipula, kenapa kau tidak sadar? Kau bertemu dengannya lebih lama dari aku! Apa kau memang benar-benar sudah tidak peduli padanya?" Takuya berteriak dengan kesal.

Aku hanya terdiam melihatnya yang sudah lepas kendali seperti itu, tidak ingin merespon apapun. Takuya tidak pernah marah padaku seperti ini, dia tidak berani, dan ini pertama kalinya aku melihat ekspresinya yang dingin

"Kenapa kau tidak sadar? Kau berubah sejak kematian ibu..." Suaranya melemah. "Dulu kau tidak begini, kau selalu tersenyum, tertawa, baik padaku dan Mio. Aku bahkan tidak percaya dulu aku sempat iri karena merasa kau lebih menyayangi Mio daripada aku." Ia memandangku kesal. "Coba lihat sekarang! Jangankan tertawa, untuk tersenyum pun kau tidak pernah mau! Kau selalu bersikap dingin, yang kau pikirkan hanya kerja, kerja, kerja terus! Aku tahu kau melakukan ini untuk kebaikanku, tapi aku benci dengan perubahan sikapmu!"

Cih.

"Aku membencimu, nii-san. Hanya Mio yang masih setia padamu, dan tetap saja kau tidak menyadarinya dan bersikap dingin padanya. Apa kau tahu? Apa kau sadar betapa egoisnya dirimu?"

Jangan ingatkan aku.

Tanpa mengatakan apapun, aku segera kembali ke kamar sambil membawa obat yang sudah berhasil kutemukan. Begitu masuk, Mio sedang duduk di tempat tidur dan menatapku sambil tersenyum sedih.

"Maaf. Karena aku kalian bertengkar lagi." Ia memaksakan diri untuk tersenyum dan mengambil obat dan segelas air minum yang kusodorkan.

Aku tetap diam untuk beberapa saat untuk menenangkan diriku sebelum akhirnya berujar pelan, "Jangan minta maaf, kau tidak melakukan apapun. Minum obatmu lalu istirahatlah. Nanti sore akan kuantarkan pulang."

"Ya, terima kasih." Ia menjawab dan meminum obatnya sementara aku kembali berjalan keluar kamar.

"Ah, Mio." Aku masih membelakanginya dan bersiap untuk berjalan keluar kamar. "Aku sudah menjadi seseorang yang sangat menyebalkan ya?"

Mio tersenyum dan menggeleng. "Sama sekali tidak. Hiro masih baik seperti dulu, meskipun memang ada hal-hal yang berubah."

Bukan jawaban itu yang kuharapkan. Aku tahu kau berbohong. Kau akan melakukannya, berteriak padaku seperti Takuya dan berkata kalau aku berbeda. Kalau kau membenci aku yang seperti ini.

Begitu?

Ataukah kau memang jujur mencintaiku?

Aku berjalan keluar dan melihat Takuya yang sudah duduk di ruang tamu. Tanpa pikir panjang aku segera duduk di hadapannya. "Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Kenapa kau tidak mau sekolah diTokyo?" Aku langsung menanyakan hal yang terus kami bahas.

"Hmph, kenapa kau jadi peduli? Itu bukan urusanmu kan?" Ia hanya menjawab ketus.

"Berhenti bersikap seperti itu. Kau sendiri yang bilang kalau aku berubah kan? Kau bilang aku tidak pernah bertanya tentang pendapatmu dan bersikap egois?" Aku mencoba untuk tetap terdengar tenang. "Sekarang aku berusaha memperbaikinya Jawab pertanyaanku."

"Aku tidak bisa, tidak sekarang." Takuya menggeleng dan berjalan kembali ke kamarnya.

Sebelum ia sempat membuka pintu kamar, aku mencengkram erat lengannya. "Jangan pergi. Katakan kenapa kau selalu menolak."

"Tidak mau!l Takuya menjawab dengan gusar. Tangannya yang terkepal sudah hampir melayangkan tinjunya ke wajahku jika saja aku tidak menggenggam lengannya.

"Lalu apa yang kau inginkan sekarang?" Aku bertanya geram.

"Menurutmu?"

"Hentikan!" Mio membuka pintu kamar dan berlari ke arah aku dan Takuya dengan khawatir. "Jangan... Jangan bertengkar lagi! Kenapa kalian selalu menyelesaikan semuanya dengan perkelahian? Bicarakan saja semua baik baik..." Ia berkata dengan napasnya yang terengah.

Aku menatap ke arah Takuya dan melihatnya balas menatapku, kami berdua terdiam. Mio menatap kami yang tidak melakukan apapun dan akhirnya berkata pelan. "Hiro... Takuya tidak mau bersekolah di Tokyo karena dia tidak mau jauh darimu." Ia memandangku. "Dia tidak mau jauh darimu, karena hanya kau satu-satunya keluarganya. Setidaknya pikirkan dulu hal itu sebelum memaksanya sekolah di Tokyo." Mio berjalan lunglai ke ruang tamu dan menjatuhkan dirinya ke sofa, kelelahan. "Kalian berdua sahabat baikku sejak kecil, hanya kalian yang bisa kupercayai. Aku tidak mau kalian bertengkar seperti ini." Air matanya mulai menetes. "Aku sangat menyayangi kalian..."

Aku memandangnya dengan bingung dan terkejut. Mio bukanlah seorang perempuan yang kekanakkan dan cengeng, tidak, ia jauh dari itu. Mio adalah perempuan yang sangat dewasa. Tapi kenapa saat ini aku melihat seorang gadis kecil berumur 10 tahun sedang menangis di hadapanku? Gadis kecil yang menjadi teman sepermainanku, yang menjadi sahabatku, yang mempercayaiku apapun yang terjadi? Gadis kecil yang hanya jujur pada perasaannya saat ada bersama kami, bersama aku danTakuya. Sahabat kami.

"Hiro? Meskipun sudah dewasa nanti, kau akan tetap menjadi temanku kan?"

"Tentu saja, kau ini bicara apa sih..."

"Haha~ Maaf aku menanyakan hal yang bodoh. Terima kasih, Hiro-kun."

"Yah, apa boleh buat." Takuya tersenyum pasrah dan menepis tanganku dari lengannya. "Aku kalah. Aku mau sekolah di Tokyo, aku tidak akan membantah apa kata nii-san lagi." ia berjalan masuk ke kamarnya dan berhenti sesaat. Dia menoleh ke arahku dengan wajah yang agak memerah. "Yah, bagaimanapun juga, kau kan kakakku."

Aku dan Mio terdiam melihat Takuya yang masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan terburu-buru. Kami berdua berpandangan untuk sesaat sebelum akhirnya tersenyum geli. "Ba-ka."

"Lalu? Apa akhirnya paman benar benar menyuruh ayah bersekolah di Tokyo?" Ryuji yang duduk di pangkuanku bertanya dengan antusias.

"Tentu saja." Aku tertawa kecil. "Aku membiarkannya menyelesaikan SMP di Fukuoka dan selanjutnya kupindahkan dia ke Tokyo. Ya, untuk beberapa saat dia memang agak rewel dan selalu meminta untuk pulang, tapi dia langsung terbiasa di Tokyo setelah bertemu dengan ibumu."

"Aku tidak pernah menyangka kalau ayah dulu sangat kekanak-kanakan dan manja!" Ryuji ikut tertawa.

Tiba tiba saja Takuya masuk ke kamarku dengan wajah merah dan langsung menggendong Ryuji yang duduk di pangkuanku ke punggungnya. "Nii-san, jangan suka cerita yang macam-macam pada Ryuji!" Katanya gugup. Ia langsung berjalan keluar sambil membujuk Ryuji untuk makan bersama dengan ibunya di lantai bawah.

Aku tersenyum dan segera bangun dari kursiku. "Aku juga harus segera makan siang..." Aku menggumam pelan.

"Kalau begitu cepat turun ke bawah."

Aku menoleh ke arah pintu kamarku yang masih terbuka dan mendapati Mio sedang berdiri di depan menungguku. "Kenapa diam saja? Ayo!"

Aku berjalan ke arahnya dan memeluknya lembut sebelum akhirnya melepaskan pelukanku untuk menggenggam tangannya sambil berjalan ke ruang makan. "Ya."

Saat ini, Takuya sudah bukan adik kecilku lagi. Dia sudah menikah dengan seorang perempuan yang ditemuinya saat bersekolah di Tokyo. Aku sendiri sudah menikah dengan Mio. Kadang-kadang, kami masih sempat berkumpul bertiga untuk sekedar mengobrol seperti dulu, kami masih hidup dengan kenangan itu, tapi aku tahu ada 1 hal yang sudah berubah.

Aku sudah berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik untuk Mio.