A/N: Huuuuueeeeee T^T akhirnya ini fict selesai juga stelah beberapa minggu dibiarkan terbengkalai…. Ihiiks… sok" terharu.

Oke! Ini fict yg Yuki buat untuk kakak" Yuki tercinta~ Lebih tepatnya~~ sebenernya begini:

Akira= Kak Nate

Haruka= Megu

Haru= Ebi

Yuiki: Aku! (Yuki)

Pesan singkat:

Kak Nate, meskipun kita belom pernah kopdar bareng, ketemuan, telponan, n smsan kayak Yuki ama Megu n Ebi, tapi makasih ya kak Nate mau jadi kakak Yuki yg di wall-in tiap hari cuma buat temen curhat Yuki… terus mau baca"in fict Yuki yg masih amatir" ini… makasih ya kak Nate…

Megu, meskipun mau kuliah di Udayana, jangan lupain Yuki sama Ebi yah… Yuki seneng banget waktu itu nginep di Punca bareng nee-chan… Yuki seneng punya kakak kayak nee-chan yg mau marah-marahin Yuki tiap kali Yuki bikin salah, makasih Megu…

Ebi, nanti kalo Meg pergi, kita tinggal berdua T^T Ebi jangan nyuekin Yuki yah… tetep jadi kakak Yuki dan pemain musik nomor 1 yg mau nemenin Yuki berjuang jadi penulis… tetep jadi temen Yuki dan kakak Yuki yg paling hansamu n baik hati yah… Makasih Ebi…

STOP! Entar fictnya ga mulai" nih~~ ahaha~~ nih deh, dimulai! Please enjoy!

Aku duduk di bawah pohon rindang di taman perumahanku, menangis pelan. Entah kenapa aku merasa bodoh, aku tidak seharusnya menangis seperti ini, aku bahkan seharusnya tidak perlu bersedih… Tapi, yah, hanya sekedar tumpahan emosiku yang ingin kuutarakan... Aku ingin siapapun menemaniku di sini, mendengarkan pendapatku, menghiburku, memberiku semangat, apapun. Aku hanya ingin ada yang menemaniku, apakah permintaan itu terlalu sulit untuk dikabulkan?

"Yuiki-chan?"

Aku tersentak saat seseorang menyentuh bahuku, secara refleks aku segera menoleh ke belakang dan mendapati Haru yang sedang memandangku dengan bingung.

"Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" ia membantuku berdiri sementara aku membersihkan celanaku yang kotor.

"A-ah, tidak apa-apa…" Aku mencoba tersenyum padanya dan menghapus air mataku. "Haru sedang apa?"

"Mencarimu!" Jawabnya senang. "Aku mau main ke rumah, boleh kan?"

"Tentu saja." Aku menggenggam tangannya dan berjalan ke arah rumahku. Ia membalas genggamanku sambil tersenyum dan berjalan di sampingku.

"Kenapa menangis?" tiba-tiba saja ia bertanya. Melihatku yang terkejut, ia tertawa kecil. "Jangan kira kau bisa menyembunyikannya dariku, aku tahu kau menangis tadi. Ada apa?"

Aku menghela napas pelan, "Lupakan saja, cuma masalah bodoh… Lagipula seharusnya aku tidak perlu menangis…"

"Memangnya ada apa?" ia berdiri di hadapanku dan menghalangi jalanku. "Ceritakan~"

"E-eh, itu…" Wajahku memerah. "Itu memalukan… Sudahlah! Lupakan saja!" aku kembali berjalan dan meninggalkannya di belakang. Tapi lagi-lagi ia berlari menyusulku dan memelukku erat dari belakang. "Ada apa, Yuiki-chan?"

Aku melepaskan pelukannya dan memandangnya, air mataku kembali berkumpul. "Aku cuma agak sedih…" Aku menarik napas sejenak. "Ceritaku tidak dimuat…"

"Cerita?" Haru kembali memandangku bingung. Sesaat kemudian ia memandangku dengan terkejut. "AH! Kau mengirimkan cerita karanganmu ke majalah?!" Haru memandangku takjub. "Hebat!"

"Tapi ceritaku tidak dimuat Haru…" aku kembali berjalan sambil menggenggam tangannya. "Mungkin lebih baik aku memang tidak mengirimkannya, tulisanku masih belum cukup bagus."

"Jangan berkata bodoh!" Haru tersenyum. "Kau sudah berani mengirimkan karyamu ke redaksi, antara dimuat dan tidak, itu hanya masalah waktu! Tidak semua orang bisa menulis cerita dan berani untuk mengirimkannya ke majalah kau tahu." Haru menepuk-nepuk kepalaku. "Tunjukan ceritamu padaku."

"Ada di kamar," aku segera membuka pintu rumah dan naik ke kamarku. Aku mengambil beberapa lembar kertas dari meja dan memberikannya ke Haru.

Haru segera duduk di tempat tidurku, membaca ceritaku perlahan, mencermati setiap kata-kata dan kalimat, terkadang tersenyum, tertawa kecil. Aku mulai merasa kalau ia menganggap ceritaku tidak bagus, atau terlalu berlebihan, mungkin seharusnya aku tidak menunjukannya pada Haru! T-tapi aku butuh sarannya… Lagipula, ukh… aku bingung!

"Haru! Jangan cuma diam! Berikan komentarmu!" aku melemparnya dengan bantal. Haru cuma tertawa kecil dan mengambil bantal yang kulempar dan berbalik melemparkannya padaku.

"Ide ceritamu bagus," katanya sambil tersenyum kecil. "Tapiii~ kau terlalu sering hanya menceritakan isi atau pemikiran-pemikiran tokohnya saja! Kau harus lebih sering menggambarkan keadaan saat kejadian yang ingin kau ceritakan, agar orang yang membaca ceritamu juga lebih mudah mengerti!" ia berkata senang. "Yuiki sebenarnya kan selalu memiliki ide yang menarik~"

Aku terdiam mendengar perkataannya, bingung dengan apa yang harus kukatakan. "Benarkah?"

Ia mengangguk sambil tersenyum, "Tentu saja, kau cuma harus berlatih untuk menulis lebih mendetail. Yuiki sangat suka menulis kan? Karena itu kau harus terus berlatih!"

Mukaku agak memerah, "Ya, terima kasih…" aku duduk di sebelahnya. "Menurutmu aku akan bisa menulis cerita dengan baik?"

Ia menyandarkan kepalaku di pundaknya. "Entahlah… Menurutmu kenapa kau suka menulis Yuiki?" ia memandang dengan tatapan kosong. "Apa yang bisa kau dapatkan dari menulis?"

Aku terdiam sesaat. "Aku hanya menulis untuk sekedar mengutarakan perasaanku, terkadang untuk menyampaikan sesatu pada seseorang, pada siapapun…" aku memejamkan mataku. "…dan aku senang jika ada yang menyukai cerita-ceritaku. Itu membuatku ingin tetap menulis, walaupun mungkin karyaku tidak begitu bagus."

"Kalau begitu, kau tahu jawabannya!" ia berdiri dan mengepalkan tangannya ke atas. "Tentu saja kau akan menulis cerita dengan bagus! Karena kau punya alasan untuk itu!"

Aku tertawa. "Ya, terima kasih." Aku menatapnya senang. "Bagaimana dengan Haru?"

"Ada apa denganku?" Tanyanya bingung.

"Masih ingin jadi pemain piano nomor satu?" Tanyaku sambil tertawa.

"Tentu saja!" Haru langsung berteriak senang. "Ini yang ingin kuberitahu padamu dari tadi! Ibu akhirnya mengizinkanku ikut les piano!" ia memelukku erat. "Tetap saja, ini belum apa-apa, setelah permainanku bagus nanti, aku akan konser di seluruh Jepang, tidak, di seluruh dunia! Dan cuma Yuiki yang akan kubelikan tiket gratis~!"

Aku tertawa. "Baguslah, akan kunantikan saat itu."

"Ya!" Haru memandangku dan tersenyum menantang. "Kita berjuang sama-sama, dan lihat siapa yang akan lebih dulu menjadi nomor satu!"