Disclaimer dulu dah… Kyoto Furitsu Idai Byoin bukan punya saya… Itu bener" RS yg ada di Tokyo… saya cuma pinjem nama…

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin mengalir deras dari dahiku.

Baru saja aku bermimpi aku akan kehilangan mereka.

Nii-san, Kotaro, kak Haruka, dan Haru. Sendirian. Tidak akan pernah kembali bersama-sama dengan mereka. Aku tidak menginginkan itu!

Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering, terlalu kering.

"U-ukh, n-nii-san…" aku berusaha berjalan keluar dari kamarku dengan hati-hati. Aku segera menutupi mulutku dengan tangan. Kepalaku sakit, dan rasanya aku lemas sekali… Tapi aku harus ke kamar mandi sekarang juga, aku tidak bisa muntah di sini, aku tidak, uh… Nii-san dimana? Tolong…

"Yuiki!" Aku menjatuhkan tubuhku dengan pasrah pada tangan yang memelukku erat, melindungiku yang hampir jatuh dari tangga. Tangan Akira nii-san yang kuat sedang menggendongku kembali ke kamar.

Saat aku sadar, aku masih berada di kamar sendirian. Aku kembali berusaha untuk bangun perlahan-lahan saat tanganku tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang ada di meja.

"Yuiki!" Akira nii-san langsung masuk dengan panik dan menatapku. "Kau tidak apa?"

"Eh, iya." Aku menjawab gugup. "Tapi gelasnya jatuh—"

"Tidak apa-apa." Nii-san tertawa lega dan membereskan pecahan gelas yang ada di lantai. "Aku sangat khawatir saat kau pingsan tadi, apa yang terjadi?"

"M-maaf, tadi aku agak pusing… dan mual…" aku menjawab lirih. Nii-san pasti kesal aku sudah meninggalkan kamar tanpa seijinnya, dan membuatnya harus membawaku kembali sampai kamar. Yah, tapi, berbeda dengan dugaanku, nii-san kembali tersenyum dan mengelus kepalaku.

"Kau baik-baik saja?" ia bertanya lembut.

"Ya… Maaf sudah merepotkan nii-san." Aku memandangnya sedih. "Kau tidak marah kan?"

:Ah, aku sama sekali tidak merasa direpotkan! Justru aku akan khawatir kalau kau tidak cepat sembuh, mengerti?" Nii-san tertawa kecil dan memelukku. "Karena kau adalah adikku yang sangat berharga." Aku mengangguk dan membalas pelukannya. Nii-san memang selalu begitu, meskipun aku mengganggunya atau merepotkannya, ia hanya akan tersenyum dan bilang 'tidak apa-apa', dan itu semakin membuatku merasa bersalah.

"Aku sudah telepon dokter, sebentar lagi ayah dan ibu akan mengantar kita ke rumah sakit." Nii-san berkata sambil berjalan keluar membawa pecahan gelas.

"Ayah dan ibu sudah pulang?" aku menatapnya dengan bingung. Orang tuaku memang hampir setiap hari bekerja di luar kota dan jarang berada di rumah.

"Ya, lebih baik kau cepat ganti baju."

Aku berjalan lemas ke luar rumah dibantu oleh nii-san. Di dalam mobil, ayah dan ibu sudah menunggu kami untuk segera berangkat ke rumah sakit. Tiba-tiba aku melihat Haru keluar dari rumahnya dan menuju ke arahku dengan wajah cemas. "Yuiki? Ada apa?"

Aku tersenyum kecil, "Ah, tidak apa, aku hanya—"

"Yuiki akan dibawa ke rumah sakit." Nii-san memotong. "Aku takut penyakitnya akan lebih dari sekedar demam biasa."

"Oh…" Haru menjawab lesu. "Cepat sembuh, Yuiki." Ia menatapku dengan khawatir.

Aku hanya kembali memberikan senyum singkat dan menjawab pelan, "Ya, nanti akan kukabari jika sudah sampai di rumah sakit." Aku segera masuk ke dalam mobil dengan nii-san dan melambai pada Haru yang terdiam dan membalas lambaianku.

Aku terbaring lemas di tempat tidur yang ada di kamar 502 Kyoto Furitsu Idai Byoin, menunggu hasil pemeriksaan dokter rumah sakit. Nii-san, ayah, dan ibu sedang berada di ruangan dokter mendengar hasil pemeriksaanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku takut, aku benar-benar tidak mengerti. Aku ingin menelpon Haru dan kak Haruka, aku ingin ada seseorang yang menemaniku di sini, tapi—

Aku tersentak ketika ayah dan ibu masuk ke dalam kamar dengan terburu-buru. Aku tersenyum senang melihat mereka, namun tak lama kemudian senyumku pun hilang melihat ayah yang sedang emosi saat menerima telepon. Aku tahu itu urusan pekerjaan. Mereka akan kembali.

"Yuiki…" kali ini, ibu yang bicara. "Manager ayahmu meminta kami untuk segera kembali ke Hokkaido, kami tidak bisa tetap di sini lebih lama lagi. Jadi, kami benar-benar minta maaf karena sudah harus kembali."

"Aku mengerti…" aku menjawab lesu dan mencoba menyembunyikan kekecewaanku. Nii-san bilang mereka bekerja demi kami, aku tahu itu, aku tidak boleh egois, aku… ukh…

Tiba-tiba saja pintu kamarku terbanting dengan keras. Aku segera menoleh dan melihat nii-san sedang memandang tajam ke arah ayah dan ibu. Tanpa mengatakan apapun, ia hanya kembali berjalan ke luar sebelum bahkan masuk ke kamarku. Ibu dan ayah hanya saling berpandangan dengan bingung dan sedih sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal dan pergi.

"Huh, dasar merepotkan."

Kak Haruka masuk ke dalam kamarku diikuti dengan Haru. Aku memandang mereka dengan terkejut. "K-kak Haruka? Haru? Kenapa kalian bisa ada di sini?"

"Haru memberitahuku kalau kau masuk rumah sakit, jadi aku pikir kau akan senang kalau dijenguk." Kak Haruka mencibir. "Ternyata justru aku disambut oleh kemarahan Akira…"

"Ah, maaf…" aku menjawab gugup. "Mungkin nii-san cuma kesal, lagipula aku juga belum pernah melihat nii-san marah sampai seperti ini."

"Ya,ya, aku tahu." Kak Haruka tersenyum. "Haru, temani Yuiki di sini. Aku akan mencari Akira."

"Kenapa tidak aku saja yang mencari kak Akira dan nee-chan yang menemani Yuiki?" Haru menjawab santai.

"Heh. Kenapa katamu?" Kak Haruka berdecak. Tak lama kemudian pandangannya berubah marah dan berteriak, "Tentu saja karena aku bilang begitu! Jangan banyak tanya! Padahal tadi aku sudah berusaha untuk membuatnya terdengar se-keren mungkin! Haru bodoh!" ia langsung mendorong Haru masuk ke kamarku dan berjalan pergi mencari nii-san sambil menggumam kesal.

Haru menggelengkan kepalanya dan duduk di samping tempat tidurku. "Nee-chan menyebalkan…"

Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. "Yah, biarkan saja."

"Mau sampai kapan kau marah-marah?" Haruka berjalan mendekati Akira dan menepuk pundaknya pelan. Orang yang dipanggil tampaknya masih diam dan tidak merespon, tanpa tahu kalau tindakannya itu hanya membuat sang penanya bertambah kesal. "Akira!" Haruka memukulnya agak keras.

Akhirnya Akira meringis pelan dan menatap Haruka. "Ada apa?"

"Cih, seharusnya kau berterima kasih aku mau menjenguk adikmu di sini. Ayolah, jangan marah-marah terus. Kasihan Yuiki kalau begini."

"Maaf…" Akira menghela napas pelan. "Aku hanya tidak mengerti kenapa ayah dan ibu bisa dengan mudahnya meninggalkan Yuiki di saat-saat seperti ini."

"Yah, memang begitulah orang dewasa." Perempuan yang diajak bicara tersenyum kecil dan menarik tangan pemuda itu untuk berjalan ke kamar adiknya. "Mereka terlalu sibuk untuk bisa melihat dunia dari sudut pandang anak-anak seperti kita."

"Bicaramu itu yang seperti orang dewasa."

"Terserah."

Aku dan Haru melihat ke arah Kak Haruka dan Akira nii-san berjalan ke arah kamarku dengan bingung. Satu pertanyaan yang sama yang pasti ingin kami tanyakan pada mereka berdua, atau lebih tepatnya kak Haruka. Apa yang ia lakukan sehingga bisa merubah nii-san yang tadi terlihat sangat marah menjadi kembali seperti nii-san yang seperti biasa dalam waktu sesingkat itu?

Seperti dapat membaca pikiran kami, kak Haruka hanya tersenyum simpul sambil mengedipkan sebelah matanya. "Nah, sekarang." Ia menarik nii-san lebih cepat ke samping tempat tidurku. "Beritahu kami, apa yang dikatakan dokter tentang Yuiki?"

Ekspresi nii-san langsung kembali berubah murung. "Yuiki… dia…"

"Yuiki kenapa? Apa yang terjadi?" Haru langsung bertanya dengan tidak sabar.

"Dia…" nii-san memandangku dengan serius. Kami bertiga memandangnya dengan perasaan campur aduk, takut dan penasaran. "Yuiki… hanya kena flu karena kelelahan."

"….."

"….."

"….."

"Kalau cuma itu sih jangan bicara sekalian!" Kak Haruka langsung memukul kepala nii-san dengan keras sementara nii-san hanya tertawa melihat ekspresi kami. "Akira bodoh bodoh bodoh!"

"Maaf! Maaf! Haha.. aduh! Maafkan aku!" Nii-san tertawa dan akhirnya jatuh terduduk di kursi. Tanpa sengaja tangannya menjatuhkan sebuah buku tulis yang ada di meja. Ia memandang buku itu dengan bingung. "Buku? Milikmu Yuiki?"

"Coba lihat!" Haru langsung merebutnya dan membaca isi buku itu.

"Ah, Haru! Jangan!" aku berusaha mencegahnya, tapi terlambat.

"….." untuk beberapa saat, ia masih terdiam. Kemudian… "Hee? Kau membuat cerita tentang kita?" Haru langsung menatapku dengan terkejut dan meneruskan membaca cerita itu. "Ada nee-chan dan Kak Akira juga!"

"Berikan padaku!" Kak Haruka langsung merebutnya dan membacanya, sementara nii-san ikut mengintip dari belakang kak Haruka.

"I-itu belum selesai!" aku berkata dengan panik. "Sudahlah, ayo kembalikan padaku!"

"Tunggu dulu! Aku belum baca sampai selesai!" Haru berusaha merebut buku itu kembali dari tangan kak Haruka.

"Hei hei, aku tidak benar-benar segalak itu kan?" Kak Haruka hanya mendorong Haru dengan mudahnya dan meneruskan membaca.

Akhirnya aku menghela napas pasrah dan tertawa kecil melihat 'adegan perebutan buku' yang ada di hadapanku.

"Selamat pagi!" aku masuk ke kelas dengan terburu-buru dan mendatangi meja Haru. Ia memandangku dengan terkejut.

"Yuiki? Tidak biasanya datang terlambat? Kemana saja kau?"

"Ke toko majalah." Aku menjawab sambil tersenyum senang dan membuka majalah yang baru saja kubeli. "Liat halaman 52."

Tanpa banyak bertanya, Haru langsung mengambil majalah itu dan membukanya. Begitu membuka halaman yang kumaksud dan membacanya, ekspresinya berubah menjadi ekspresi keterkejutan. "I-ini kan…!"

Juara I lomba mengarang cerpen

My Story

Karya Yuiki Himura

Kisahku tentang aku dan sahabat-sahabatku yang berharga.

A/N: ihiiiks… ihiiiks… akhirnya selesai juga… fict ini sempet terbengkalai 1 bulan karna saya males lanjutinnya… Udah gitu endingnya dilanjutin buru" lagi… jadi berantakan banget… hiks… ampuuun… maaaaaf… R&R please!