-o—o—o—o—o—o—o-
AKHIR YANG MENDEBARKAN
CHAPTER VII
-o—o—o—o—o—o—o-
"Tapi tunangannya Shige."
...
"WHAT THE HELL RUMI!?"
"Ya-ya ampun Shige, segitu marahnya..." Rumi tertawa kecil untuk menutupi kepanikannya. Dia melirikku dan tampak ketakutan melihat tampangku yang setengah meledak.
"Jelas donk! Aku kan lagi-" NO! Jangan bilang! Aku segera menutup mulutku sendiri mengetahui orang yang dimaksud ada di sekitarku.
"Lagi... apa?" tanya Rumi, tiba-tiba mencengkram baju lenganku sambil menatap langsung ke kedua mataku. Keheningan menyelimuti kami. Aku tak dapat menjawab pertanyaan Rumi. Cengkramannya semakin kencang, seakan-akan tak mau aku pergi. Aku tidak mengerti...
"Ah, jadi Yurahashi adalah tunangan Shige? Pantas kalian begitu dekat." Kiori tiba-tiba menyimpulkan. Aku langsung menatapnya. Astaga... mengapa jadi rumit begini?
"Eng-"
"Maaf, aku cuma bercanda Mayase, soalnya menjahili Shige itu seru sih." Rumi tertawa kecil sambil memelukku dari samping, menyembunyikan mukanya setelah menjulurkan lidah padaku. Kulihat Kiori bernapas lega sekaligus sedikit tegang ketika melihat Rumi memelukku lagi.
"Kau boleh memanggilku Arumi. Boleh kupanggil Kiori?" tanya Rumi dengan senyum terpaksanya. Aku tahu benar hal itu karena aku sudah sering bersamanya. Tapi mengapa?
"Tentu saja boleh, Arumi." Kiori tersenyum kecil. Sesaat ia memandang kami lalu melambaikan tangannya dengan ganjil. "Yosh, aku ke kelas duluan ya. Sampai nanti ya."
"Ya, terimakasih sudah mengkhawatirkanku," jawabku sambil tersenyum kepadanya. Aku tak berdebar-debar, aneh... Mungkin karena aku sedang bingung memikirkan Rumi.
Kiori langsung memalingkan mukanya dan berlari kecil menuju kelas kami. Sedangkan... Rumi?
"Hei, ada apa?" tanyaku sambil membelai rambutnya. Seperti yang sudah diketahui, melihat Rumi sedih membuatku sedih. Aku tak tau mengapa... Mungkin karena dia dekat sekali denganku. Bagaimana tidak? Aku tumbuh bersama dengan dia dan kurasa dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri (adik perempuan yang didambakan mama).
"Gak ada apa-apa kok. Memangnya aku kenapa?" tanyanya tanpa menatap kedua mataku. Tidak biasanya.
"Oi! Katakan saja… Kau tahu kan aku adalah telingamu? Kau selalu bisa menceritakan apapun padaku, aku akan membantumu," ikrarku dengan sungguh-sungguh. Namun Rumi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menyembunyikan kepalanya di dadaku.
Aah, kenapa dia memelukku lagi? Anak ini semakin aneh dari hari ke hari. Kurasa aku memang perlu berbicara dengan Fuki. Aku hanya bisa memeluknya balik sambil bertanya-tanya dalam hati.
Suara derap langkah?
Ketika kusadari, aku melihat sesosok pria berambut coklat berlari menjauhi kami. Aku kenal sosok itu. Bukannya itu...?
"Ecieee, dicariin ke kantor guru, ternyata lagi mesra-mesraan di sini sama Yurahashi!" sahut Ruki yang tiba-tiba ada di belakang kami. Baagh! Sama Taku lagi. Duo perusuh!
"Berisik. Kalian gak ada kerjaan lain hah?" tanyaku dengan jengkel. Rumi tetap tak melepaskan pegangannya padaku, malah memelukku semakin erat. Ini anak… Gosip oi, gosiiip! Mukaku tak salah lagi, pasti merah. Taku saja sampai tertawa terbahak-bahak.
"Jadi gak mau diganggu nih? Kita datang di saat yang tidak tepat Ruki," komen Taku sambil terkikik kecil dan menonjok bahu Ruki.
"Ya udah, pergi yuk. Kita ganggu Edo lagi saja."
Dan mereka pun pergi sambil melemparkan lirikan liciknya padaku.
"Oi, Rumi, kau kenapa sih, jadi aneh begini? Lepaskan aku dong, ini masih jam sekolah. Kantor guru juga dekat kan, kalau ketahuan, bisa diceramahi tau!"
"Jadi, kalau di luar jam sekolah, boleh?" tanyanya sambil sedikit tertawa.
Adooooh, aku salah ngomong lagee! Aku langsung menjambak rambutku sendiri. Rumi tertawa kecil melihatnya.
"Shige, nanti antar aku pulang ya."
"Yah, walaupun dirugikan..." Rumi menonjok perutku. Argh, sumpah... "Becanda... aduh, iya aku antar."
Lalu kami pun berjalan ke kelas kami masing-masing. Walaupun begitu, aku menyempatkan diriku menoleh ke belakang, ke arah sosok yang berlari saat itu. Apakah dia Fuki?
-o—o—o—o—o—o—o-
TREEET…
"HOREEE! PULANG!" seru Taku sambil segera melompat dari kursinya dengan tas siap di pundak.
Bo-bodooh…
"Semangat pulang sekali kau, Sachitsu?" Pak Tada melempar lirikan mematikan.
"Ahaha, masih ada bapak toh. Saya kira bapak udah keluar." Taku hanya bisa cengengesan dan menggaruk-garukkan kepalanya. Aaah, tambah bodoh! Kenapa malah menjawab seperti itu sih Taku?
"Itulah akibat dari melamun. Saya harap kalian semua tidak mencontoh tingkah laku Sachitsu dan temannya."
Heh? Temannya? Maksudnya apa nih? Aku menaikkan sebelah alisku. Sepertinya semua orang menyadari hal tersebut dan tertawa.
"Khusus untuk kamu, Sachitsu, saya akan beri tugas tambahan selama darmawisata."
"HAAH?" Taku langsung terkejut sejadi-jadinya. Pak Tada hanya tersenyum keji.
"Bawakan padaku ukuran danau yang akan kita kunjungi pada saat darmawisata. Selamat siang." Pak Tada langsung melenggang keluar kelas dengan santainya. Sementara itu, Taku benar-benar sangat depresi.
"Kamu pasti bisa Taku!" "Semangat ya Sachitsu!" "Selamat berjuang Sachitsu!"
Yang bersangkutan malah tak sadarkan diri. Sedangkan aku? Aku masih keheranan mendengar kata 'temannya' tadi. Itu kan aku! Pak Tada pasti menyindirku. Cih.
"Sampai besok Edo," kataku pada Edo yang juga bangkit dari kursinya.
"Sampai besok Shige."
Aku pun berjalan menuju pintu keluar yang hanya lima langah kaki dari mejaku namun…
"Shige, bagaimana ini?" Taku menghampiriku dengan pandangan hopeless dan langkah gontai bak zombie. Oh no, aku malah semakin ingin tertawa! Hahahaha…
"Kau sih. Memang tadi kau benar melamun ya? Ga tanggung-tanggung teriaknya. Aku kena dampratnya lagi!"
"Iya sih, aku lagi mikirin tanding Minggu besok. Begitu bel, langsung semangat pulang. Kukira…"
"Ya, ya. Ya sudahlah, mau gimana lagi kan? Nasi udah jadi bubur." Aku dan Taku langsung keluar kelas, namun lagi-lagi sesuatu menghentikanku.
"Sampai besok Shige!" Kiori tersenyum padaku lalu melewatiku bersama Edo.
"Oh, ya… sampai besok… Mayase." Aku tertegun. Tampaknya dia bahagia sekali, padahal baru saja jam istirahat tadi, dia tampak tercengang mendengar lelucon Arumi. Aneh.
Tapi dia tampak menawan sekali.
"…Ge? Shige?"
"Ya?"
"Ayo pulang."
Setelah Taku berkata begitu, aku baru menyadari adanya jarak di antara kami. Rupanya, aku sudah berhenti berjalan, sejak kapan? Taku menaikkan sebelah alisnya padaku dengan tatapan menyelidik.
"Ada apa?"
"Enggak. Ayo pulang."
"Kau tahu, kau tidak akan bisa menyembunyikan apapun dariku, Taku yang tau segalanya!" Taku tersenyum licik sambil memasang gaya ala hero. Haha, aku malah sweatdrop jadinya.
"Emangnya aku nyembunyiin apaan? Dah ah, ayo pulang."
Akhirnya kami pun berjalan pulang ke arah parkiran, menemukan Arumi berdiri di samping sepedaku dengan jemu. Ah ya, aku lupa aku janji mengantarnya pulang.
Arumi menyadari kedatangan kami dan tersenyum lega. Baguslah dia tampak baik-baik saja. Aku lega sekali melihatnya.
"Loh, kalian pulang bareng?" tanya Taku sambil menyeringai dan melirik-lirik jahil padaku. Apaan sih? Kami hanya teman semasa kecil. Semua orang ini membuatku gila. Wajar dong kalau kami dekat.
"Iya. Aku lagi butuh tumpangan sih. Karcis bus langgananku habis," aku Rumi sambil cengengesan.
"Wah, cepat diperbarui lagi tuh." Taku dan aku melepaskan gembok sepeda kami dan dengan segera, mengendarainya. Rumi pun menduduki jok belakangku dan memeluk pinggangku.
Setelah mengucapkan salam perpisahan (kayak apaan aja…), Taku dan aku berpisah jalan. Aku dan Rumi bercakap-cakap tentang kejadian di sekolah (walau lebih ke dia curhat padaku daripada sekedar cerita). Tiba-tiba, Rumi bertanya sesuatu yang membuatku terbelalak.
"Shige, kamu naksir Kiori ya?"
"APAA?" Arrg! Aku ketahuaan!?
Pertanyaan itu membuatku tidak bisa mengendarai sepeda ini dengan baik, sehingga sempat oleng dan hampir terjatuh.
"Apa-apaan sih kamu? Bahaya tau! Untung aja gak jatuh. Bayangin deh kalau jatuh tadi, kaki dan tangan Rumi bisa lecet," umpat Rumi sambil menggembungkan pipinya.
"Justru kamu yang apaan, nanya pertanyaan begituan. Apa-apaan tadi?" tanyaku sedikit was-was.
"Rumi kan Cuma tanya aja Ge, ga salah donk. Lagian, kamu jadi kayak gini, kayanya bener: kamu suka Kiori. Jujur aja Ge, Rumi gak bocor kok mulutnya," sahut Rumi, terdengar semakin pedas.
"Kata siapa tuh?" tanyaku takut-takut. Taku-kah? Dia tau gitu?
"Insting perempuan."
Haaah? Aneh, tapi aku harus mengakui, kalau memang benar. Insting perempuan tidak bisa kuremehkan.
"Hmm, iya deh, aku ngaku. Aku lagi ngincer Kiori. Puas?" kataku malu-malu. Aah, susah ya. Sekarang ada orang lain yang tahu…
"Dari kapan?"
"Entahlah… tiba-tiba muncul begitu saja. Begitu aku sadar, ya… gitu deh. Hehe, kenapa sih? Pengen tahu banget."
"Rumi hanya penasaran saja, habisnya Shige seperti marah besar gitu deh ke Rumi tadi."
Aah, itu. Gimana gak? Lagi ada kesempatan PDKT malah dihancurkan.
"Kamu sendiri? Alasan kamu putus sama Fuki tuh apa sih? Dia yang mutusin?" tanyaku sekalian. Sudah membicarakan masalah privat, sekalian saja kan? Dia tidak boleh mengelak. Dia kan sudah tahu rahasiaku.
"Itu… Iya. Dia yang mutusin."
"Kenapa?" tanyaku hati-hati. Topik ini sangat sensitif untuk mereka. Dari pembicaraanku pagi ini dan sosok berlari itu, aku yakin, Fuki pasti masih suka sama Rumi. Kalau begitu mengapa Fuki memutuskan Rumi? Pasti ada apa-apa sama Rumi nih…
"Aku gak bisa bilang."
"Gak ada hubungannya denganku kan?"
Rumi memekik kaget. Mendengar reaksinya, aku malah jadi takut. Jangan-jangan karena aku lagi… Tapi aku kan gak pernah ganggu mereka pacaran. Aku gak pernah monopoli Rumi juga…
Aku pun memberhentikan sepedaku dan menoleh ke belakang, di mana aku melihat Rumi membuang muka dengan muka yang sangat merah dan air mata yang tergenang…
Mana mungkin…
"Ru-Rumi, kamu kenapa? Kok nangis lagi!? A-aduh… maaf deh. Maaf… Nanti biar aku bicara sama Fuki kalau dia cuma salah paham, ya?"
"Gak usah. Ini bukan salah Fuki juga. Ini semua salah aku."
Lalu tanpa sempat bertanya apa-apa, dia sudah berderai air mata. Aku sampai salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa. Aah, bodoh sih, aku memancing-mancing hal seperti itu.
Aku hanya bisa memulangkannya ke rumahnya. Uuh, jadi ganjil. Semoga tante Miya tidak bertanya apa-apa.
-to be continued-
© Rio, 2012
120923