-o—o—o—o—o—o—o-

Hanya Tiga Kata © SeYuRiO

Chapter 14: Kebingungan Ganda

-o—o—o—o—o—o—o-

Uuh… aku tidak bisa tidur semalaman. Ini semua karena surat sialan itu. Juga ucapan Takagi. Memang benar aku tidak bisa menghindar selamanya. Hari ini aku pasti bertemu dia di kelas. Dia kan duduk di sebelahku. Memikirkannya membuatku pusing. Bagaimana caranya agar hari ini aku bisa menghindar darinya? Apa kuanggap tidak serius saja seperti biasanya?

Huaaaah… Aku mengantuk sekarang.

"Kakak, jangan menguap di depanku dong. Aku lagi makan nih!" Fuyuki mengerutkan dahinya dan menjauhkan dirinya juga mangkuk nasinya dariku.

Papa menatapku tidak setuju dan menggeleng-gelengkan kepala sambil membalikkan halaman korannya.

"Maaf deh. Aku tidak tahan lagi. Pokoknya sesampainya aku di sekolah, aku akan tidur." Aku menyumpit nasiku dan mengunyahnya perlahan-lahan. Duh, karena mengantuk aku jadi tidak nafsu makan.

"Tidur sebelum pelajaran dimulai boleh saja, asal nanti tetap fokus belajar," celetuk Papa dari balik Koran yang terbentang menutupi wajahnya. Tidak mau memperpanjang permasalahan, aku mengangguk-angguk setuju. Masalah praktiknya, itu tergantung nanti, hehe… Hei, itu tergantung kinerja tubuhku oke? Bukan sesuatu yang bisa kukontrol!

"Karen, pemuda tampan itu tidak menjemputmu lagi?" Mama tersenyum genit sambil menuangkan air putih ke dalam gelas Fuyuki.

"Pemuda mana yang mama maksud?" Uh, aku tidak suka arah pembicaraan ini.

"Pemuda mana lagi yang menjemputmu akhir-akhir ini? Itu… anak baru itu. Nak Ryuji."

Fuyuki lalu tertawa kecil dan mengacung-acungkan sumpitnya. "Iya benar! Kak Ryuji! Aku suka Kak Ryuji. Dia baik sekali. Aku sempat berkunjung ke rumahnya. Keren loh!"

Aku sampai terbatuk-batuk. Apa ini? Perkembangan baru apa ini? Kenapa aku baru tahu kalau keluargaku sangat sangaaaat menyukai Takajima? Bahkan Fuyuki berkunjung ke kediamannya? Kapan? Yang benar saja!

"Wah! Dia mengundangmu ke rumahnya? Seperti apa rumahnya?"

"Bagus banget mah! Kecil sih… tapi rapi dan—Wiih, muka kakak merah." Fuyuki tertawa terbahak-bahak.

Si-al-an. Kenapa mukaku harus memerah sekarang? Pasti karena aku teringat pesan kertas itu lagi deh! Duh… aku jadi ingin menjedotkan kepalaku ke tembok.

"Anakku sudah dewasa." Mama mengusap air mata di ujung matanya. ITU LAGI! HIIIIH! Mama GAK PUNYA kata-kata lain ya? Bukan menggelikan lagi—menyeramkan!

Papa tersenyum kecil. "Papa juga suka sama teman kamu yang itu. Anaknya pemberani dan menyenangkan. Ternyata kamu pintar memilih calon pacar. Papa langsung setuju deh."

Mataku nyaris melompat dari lubangnya. Papa Juga? PAPA? Orang tuaku yang tidak menyukai Kenno, menyukai Takajima? PAPA?

.

.

.

ARRRGHH TAKAJIMAAAA! APA YANG TELAH KAULAKUKAN PADA KELUARGAKU!?

(Di kediaman Takajima, Ryuji yang sedang sarapan langsung bersin-bersin hebat.)

-o—o—o—o—o—o—o-

Perjalanan menuju sekolah menjadi luar biasa menyebalkan. Fuyuki hari ini ikut denganku dan terus menerus membicarakan tentang kelebihan Takajima. Takajima itu badannya atletis lah… (hiiih! Mereka sebenarnya ngapain sih?), humoris, ramah… blablablah. Ya ampun… aku tahu Takajima itu barang bagus, tapi aku gak suka oke? Dia NORAK!

"Kak, kenapa sih? Kak Ryuji baik sekali kok. Dia juga pintar main game! Dijamin asyik deh kalau pacaran sama Kak Ryuji!" Fuyuki mengangguk-anggukkan kepalanya, antusias.

Aku menyipitkan mataku dan menggeleng-gelengkan kepalaku, tidak setuju. "Pacaran itu bukan masalah main game, Fuyuki. Ini masalah hati, HA-TI. Anak ingusan sepertimu mana mengerti sih?"

"Yee, malah mengejek. Aku tahu kok, aku kan—" Fuyuki berhenti berkata dan wajahnya langsung memerah. Walah?

"KAREEEN! Selamat pagi!" sapa Nemu yang rupa-rupanya sudah berlari ke arah kami begitu melihat kami di kejauhan. Ketika sampai di samping kami, dia tersenyum lebar. "Pagi Fuyuki!" Nemu lalu mengacak-acak rambut Fuyuki.

Fuyuki malah tersenyum-senyum senang diperlakukan seperti anak umur lima tahun begitu, padahal dia itu sudah kelas 2 SMP. Dia ini kurang dewasa sekali… anak seumur dia tuh biasanya… Hee? Apa jangan-jangan adikku ini…?

Aku meneguk air liurku dan memperhatikan kedua orang tersebut dengan saksama. Apa mungkin…?

"Kak Nemu, kapan mau menginap di rumah kami lagi?" tanya Fuyuki, tiba-tiba bertingkah... sok imut? Yang jelas dia sekarang mencondongkan tubuhnya ke depan supaya bisa melihat kami berdua dengan jelas, tangannya meraih pegangan tasnya, dan dia tersenyum dengan sangat… manis, dan itu menggelikan.

"Iya juga ya, sudah lama aku tidak menginap. Bagaimana kalau sabtu ini?" tanyanya sambil melirikku. Aku menaikkan bahuku, tidak berniat protes. Kami pun tersenyum. Sekejap perhatianku pada Fuyuki teralihkan.

"Jangan lupa bawa film untuk ditonton!"

"Ya, ya! Dan snack! Tapi jangan kau habiskan ya. Aku juga mau…"

"Hei, yang habiskan waktu itu si Fuyuki tahu!" tuduhku dengan kasualnya, dalam hati aku menyeringai licik.

"Enak saja, tidak! Kakak main fitnah saja sih? Kakak kali, diam-diam tangannya merayap mengambil jatah snack, meraup dalam jumlah besar, dan—"

"AHAHA! ITU SEKOLAHMU FUYUKI!" teriakku memotong celotehannya. Semburat merah mendiami kedua pipiku. Fuyuki itu memang hobi sekali mempermalukan kakakknya, perlu diberi pelajaran malam ini.

Fuyuki mencebik lalu melambaikan tangannya pada Nemu (bukan padaku! Se-ma-kin men-cu-ri-ga-kan~) dan pergi memasuki gerbang sekolahnya yang penuh dengan anak lainnya.

"Adikmu makin lucu saja ya~" Nemu tertawa kecil, tangan menutupi mulutnya.

Ini dia nih. Aku melirik Nemu sambil tersenyum licik. "Jangan bilang begitu, kalau dia tahu, dia bisa ke-GR-an."

"Yang ada dia marah dong, temanku ini bodoh sekali sih. Mana ada anak cowok yang suka dipanggil lucu? Apalagi yang sedang mengalami proses pertumbuhan seperti dia. Itu seperti mengatakan bahwa dia adalah banci. Kasihan Fuyuki punya kakak payah begini." Nemu menaikkan kedua lengannya, tanda pasrah.

Aku menghela napas dan memasang tampang tanpa dosa. "Nemu, Fuyuki itu tidak normal. Dia itu kebalikan cowok-cowok pada zamannya. Percaya deh, dia pasti senang di bilang begitu olehmu." Bleh… aku menjulurkan lidahku sambil menaikkan bahuku.

"Eh? Apa maksudnya?" Nemu terkejut, mengejarku yang sudah berjalan duluan.

Aku rasa tebakanku benar. Hehe… bisa jadi materi blackmail nih.

-o—o—o—o—o—o—o-

Nemu menaikkan alisnya dengan geli ketika melihatku berjalan sangat teramat pelan, dan ketika sampai di depan kelas, tidak langsung masuk ke dalamnya melainkan mengintip ke dalam kelas dengan takut-takut.

"Kamu ini kenapa sih? Cepat masuk," suruh Nemu sambil mendorong punggungku agar aku masuk ke dalam kelas. Aku menahan lajunya dengan kakiku, bersikeras untuk tidak masuk.

"Ka-kamu masuk duluan saja deh. Aku tidak mau buru-buru." Aku melirik ke dalam kelasku dengan cemas, berharap untuk menemukan targetku.

"Apalagi sih? Jangan bilang kau menghindari Takajima juga… Astaga, biasanya mau digoda seperti apapun, kau tetap ketus seperti biasa. Kenapa sekarang…?" Dahi Nemu berkerut-kerut bingung.

Di bangku gak ada… di depan papan tulis juga tidak… di belakang ruangan juga… enggak. Masa sih dia belum datang?

"Halo Kurinoku cantik. Cari Ryuji ya? Mwhahahaha!"

Aku membeku. Suara Okachi… Benar saja, ketika aku menoleh aku mendapatinya sedang tertawa terbungkuk-bungkuk di belakangku. Bajunya acak-acakan seperti biasa, dengan rambut rancung dan tindikan di kuping kiri. Biasanya aku mempertanyakan keanehan penampilannya yang entah mengapa bisa lolos dari tatib, tapi tidak kali ini. Aku benar-benar membeku ketika menyadari siapa yang berada di sampingnya. Takajima… auuuh… Tanpa sadar aku sudah menggigit bibir bawahku saking gugupnya.

Takajima terlihat sangat dingin dan tidak bersemangat. Dia bahkan tidak tersenyum seperti biasa ketika melihatku. Hanya menatapku lurus…

Dia marah…?

"Sejak kapan kalian di situ?" tanya Nemu yang jelas lebih kaget dariku.

"Oh, baru saja kok Tohara." Okachi tersenyum kecil dan tangannya tiba-tiba terulur maju hendak menyentuh rambut Nemu. Nemu langsung mundur secara refleks. Okachi mengerang. "Aah, Tohara sudah semakin terlatih. Tidak seru nih."

"Dasar player," umpat Nemu kesal, melipat tangannya di depan dadanya. Sementara mereka terus berdebat, Takajima membuang muka dariku, tidak pernah sesekali mencoba melirikku. Tiba-tiba perutku terasa seperti terlilit.

"Se-selamat pagi Takajima." Aku meliriknya, berharap melihat ekspresi biasanya. Tidak. Dia tetap melihat ke arah lain walaupun dia membalas sapaanku. This bastard

"Kamu baru datang?" tanyaku penasaran, sekaligus juga kehabisan ide.

Dia hanya bergumam dengan TETAP TIDAK MELIHATKU!

Menyebalkan!

"Ooh… aku juga baru datang sama Nemu."

Setelah beberapa menit lewat tanpa konversasi, aku merasa kesal dan bingung. Ada apa sih? Dia… marahkah karena aku tidak menghampirinya? Tapi bagaimana dia tahu kalau aku menghindarinya kemarin?

"Uh, kurasa aku mau masuk ke dalam."

"Oh."

Aku langsung menarik Nemu dan masuk ke dalam bersamanya, meskipun Nemu masih saja beradu mulut dengan Okachi dengan volume yang luar biasa keras.

Tak terasa alisku berkerut-kerut. Kok aku sedih ya?

Baru saja aku meletakkan tasku di meja (dan Takajima juga telah duduk di bangkunya di sebelahku), tiba-tiba Takagi masuk ke dalam kelasku dan menghampiriku.

"Ada apa Takagi?" tanyaku bingung. Kerutan di dahiku bertambah nih.

Takagi menatap Takajima yang menatap ke sisi kelas yang lain dan menaikkan alisnya. Dia lalu menatapku lagi dan tersenyum. "Aku pikir aku mau membantumu latihan untuk tantangan hari Jumat."

Mendengarnya, mataku langsung membulat. Hampir saja aku lupa apa yang akan terjadi hari Jumat… Aku mengerang memikirnya. Aku langsung melompat senang. "Tentu saja aku mau!" kataku antusias sambil menggenggam tangannya dengan refleks. "Sekarang?"

Takagi hanya tertawa geli melihatku dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang dan pulang sekolah. Aku ada kuncinya." Dia mengedipkan sebelah matanya padaku.

Aku langsung tersenyum senang dan memalsukan tampang terharuku. Takagi hanya memutar bola matanya, membuatku tertawa. Takagi lalu menarikku keluar dari kelas sambil bercakap-cakap.

Sesampainya di tempat latihan memanah, kami menyusun peralatan yang kami butuhkan dan setelah semuanya siap, kami berdiri mematung menatapi hasil kerja kami dengan puas.

Takagi melirikku (dapat kulihat dari ujung mataku) dan tersenyum lembut. Hmm… ada apa ini?

"Kau sudah tidak sedih?" tanyanya sambil mengangkat busur dan sebuah anak panah, namun tetap mengamatiku.

Aku tersentak kaget. "Kamu tahu—ah, untuk apa pula aku bertanya? Kau kan punya kemampuan membaca pikiran orang, harusnya aku tidak kaget," celotehku sambil mencibir.

Takagi tertawa saja mendengar itu semua dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan tidak punya kemampuan psychic Karen, duh. Tapi… ini menyangkut Takajima itu ya?"

Aku tidak menjawab, tidak juga mengiyakan, hanya menatap lantai kayu yang kuinjak ini dengan intens.

"Memangnya ada masalah apa sih?"

"Aku tidak tahu. Mungkin karena kemarin aku tidak menemuinya…" jawabku lebih kepada diriku sendiri.

"Dan mengapa kau menghindarinya?"

"Aku sudah bilang kan? Dia membuatku gila! Dia… dia…" kalimat di kertas itu membayang kembali di benakku, perasaan berdebar-debarku, sosok menunggunya, dan sikap dinginnya… aku mengerutkan dahiku dengan bingung, merasa sedikit sakit hati.

"Dia…?" pancing Takagi, kini wajahnya berada di dekat wajahku dalam usahanya untuk menatapku wajahku yang semakin menunduk ke bawah.

"Kau kan cowok Takagi. Ada solidaritas cowok kan? Aku rasa aku tidak bisa mengatakannya padamu."

Terdengar suara 'hmmph' dari Takagi. Aku dapat membayangkan wajahnya menghadapi perkataanku. Mungkin dia merasa ini konyol. Oh, mengapa pula aku membicarakan hal ini padanya?

"Solidaritas cowok, ya ampun. Imajinasimu terlalu tinggi. Kalaupun ada, aku tidak termasuk."

"Jadi kau masuk solidaritas cewek?" tanyaku iseng walaupun sedang sedih. Aku mengintipnya dari bawah. Bukannya mengerang dia malah tertawa. Takagi itu memang kadang-kadang sulit dimengerti.

"Terserahmulah. Sekarang, ayo ceritakan padaku," pancing Takagi lagi, kini menarikku dari tempat kami ke kursi duduk di tepi ruangan. Aku menurut saja dan menyenderkan punggungku ke dinding ketika kami sudah duduk.

"Aku tetap tidak mau cerita, jadi jangan harap."

"Baiklah, kutebak saja deh. Dia menembakmu dan kau seperti biasa, menghindarinya. Dan sekarang dia…"

"EEEKH! Benar-benar! Pasti kau psychic!" teriakku merasa terancam. Seperti biasa dia bilang? Di-dia tahu dari mana? Kalau dia bisa menebak sejitu itu, atau kalau memang dia itu mind-reader, itu gawat sekali. Semua perasaanku… dia tahu dong?

"Berapa kali sih harus kubilang?" Takagi mengeluh sambil ikut menyenderkan punggungnya di dinding. "Well, menurutku sih kamu gak usah sedih. Kurasa dia tidak benar-benar marah. Itu saja sih kalau itu yang meresahkanmu."

Alisku berkerut-kerut lagi. Kali ini karena bingung. Bukan marah? Lantas apa?

"Baiklah. Aku menuruti perkataanmu saja," kataku sambil menaikkan bahu. Walau begitu, tetap saja ada perasaan mengganjal.

"Begitu dong. Jadi, tidak sedih lagi kan?" Takagi tersenyum sambil menatapku, menarik tanganku dan menggenggamnya. Gerakan sesimpel ini dari Takagi tiba-tiba dapat membuatku berdebar-debar hanya karena perkataannya waktu itu… Apa benar ucapannya yang waktu itu? Tapi… dia bertindak seakan-akan semua ini adalah hal biasa…

Memang hal biasa sih. Tapi…

"Ma-masih sedih sih, tapi sedikit berkurang. Terimakasih Takagi." Aku tersenyum juga padanya dan dia menepuk-nepuk kepalaku. Tak terasa pipiku memerah karenanya. Aku menatapnya diam-diam dari bawah bayangan tangannya dan ternyata dia sedang melihatku sambil tersenyum dengan lembut. Tiba-tiba wajah Takagi menjadi dekat sekali dan aku baru menyadari betapa dadaku berdebar-debar dengan kencangnya…

"AA… La-latihannya ba-bagaimana Takagi?" tanyaku tiba-tiba, berusaha membuyarkan ketegangan yang ada saat itu, baik di antara kami maupun di dalam hatiku sendiri.

Takagi lalu mengedipkan matanya, dan berdiri dengan tegak. Aku tidak melihatnya sehingga aku tidak tahu mengapa dia begitu diam… Cuma beberapa detik sih, tapi tetap saja, untuk Takagi yang cerewet… Tiba-tiba tanganku dipegangnya dan aku pun ditarik bangun dari bangku.

"Jadi, ayo latihan!" Dan akhirnya dia pun mengajariku memanah dengan lebih baik. Dan selama latihan, aku berusaha untuk tidak memikirkan hal tersebut.

-o—o—o—o—o—o—o-

Mata Nemu memperhatikan seluruh gerakanku lekat-lekat, seakan-akan ada yang salah dari semua itu. Ada apa ya? Hmm, mungkin aku terlalu cepat menyuapkan makananku ke mulut, tapi selebihnya aku normal kok… Aku jadi risih nih ditatap begitu. Baru saja aku mau protes, Nemu sudah bertanya duluan.

"Kau diapakan sama Takagi?"

Mendengarnya aku langsung terbatuk-batuk. Aku mengambil botol minumku dan meneguknya dengan segera.

"Kenapa sih setiap acara makan kamu selalu bertanya hal aneh? Kenapa kita gak membicarakan artis atau film atau apalah…"

Nemu menyeringai. "Membicarakan masalah pribadi itu lebih asyik Karen. Jadi… ada apa?"

"'Ada apa' apanya? Enggak ada apa-apa kok."

"Bohong. Selama pelajaran berlangsung, kau yang tenang jadi suka gelisah. Kau juga sempat tidur… (itu gak aneh sih) Aaah, terus daritadi wajahmu berubah-ubah dari kesal, bingung, memerah… belum lagi kau mengumpat dan makan dengan kecepatan menakjubkan. Itu tidak biasa dan wajib diselidiki kau tahu?" Nemu menyeringai tajam sambil menaikkan kedua alisnya untuk memperbesar matanya.

Jadi… ketahuan ya? Pasrah deh.

"Cepat ceritakan! Kau anggap aku teman atau bukan?"

"Tentu saja teman, uh… iya deh. Se-sebenarnya aku bingung sama dua cowok aneh itu." Mataku langsung menatap bangku Takajima yang kosong. Lalu secara perlahan mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Takajima tidak ada. Aman.

"Tiga," koreksi Nemu. Aku hendak bertanya siapa yang satu lagi namun tidak jadi. Wajahku langsung berubah gelap memikirkan kemungkinannya. Jangan bilang… Kenno.

"Tidak, dua saja."

"Yotaro—"

"Kau mau dengar ceritaku atau tidak? Dan aku tidak suka Kenno, oke? Dia hanya," aku meneguk air liurku, "hanya kuanggap kakakku saja kok…"

"Tidak begitu! Kau anggap dia—uh. Aku tetap ingin dengar ceritamu sih, jadi aku tidak akan protes lagi." Nemu memperlihatkan senyum gigi menawannya. Sial… kenapa gigiku tidak serapih itu?

"Ja-jadi… Takajima kemarin menembakku lewat pesan kertas."

Mendengarnya Nemu langsung meledak tertawa. Setelah bisa menenangkan diri, dia berkata (masih tertawa), "Oh. My. God! Tapi dia memang sudah menembakmu dari hari pertama masuk kan? Itu bukan hal yang mengagetkan."

"Tetap saja… dia kan tidak mengatakannya. Aku tidak tahu dia main-main atau tidak. Lalu kemarin… aku jadi bingung dan menghindarinya."

"Pantas saja kemarin dia tanya kapan kamu keluar dari klub! Dia mau menembakmu toh?"

"Jadi dia tahu jadwalku dari kamu? Sialan Nemu… oke, yang jelas aku kaget dan akhirnya aku dan Takagi keluar sekolah lewat jalan lain. Aku… merasa bersalah, dan mungkin karena itu dia jadi dingin padaku sekarang." Aku mendesah lesu sambil menyuap sisa makananku.

"Ooh… pantas saja dia tidak mengganggumu seperti biasa. Tapi kupikir-pikir aneh juga. Seperti bukan dia." Nemu mempertimbangkannya dengan hati-hati, tangannya menangkup pipinya.

"Kupikir juga begitu Nemu."

"Jadi… apa jawabanmu?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak suka dia-"

"Please Karen, sampai kapan sih mau bilang begitu? Jelas-jelas kau tertarik padanya!"

"Tidak! Aku tidak tertarik! Huh, aku tidak mau cerita lagi."

"Jadi bagaimana dengan Takagi?" Nemu tersenyum geli menyebut namanya lalu menyuapkan makanan ke mulutnya, menunggu jawabanku, seakan-akan dia tidak dengar perkataanku sebelumnya. Pintar sekali Nemu, pintar…

"Takagi… uhm, menyatakan cintanya padaku kemarin-kemarin. Tapi kukira dia tidak serius…" Nemu memutar bola matanya, aku mengacuhkannya dan melanjutkan, "tapi dia semakin bipolar, aku jadi khawatir."

"Bipolar bagaimana?"

"Ya, dia bertingkah seperti teman biasa, tapi lalu kadang-kadang dia bertingkah seperti cowok yang sedang mengejar cewek… tapi itu hanya terjadi selama beberapa menit saja, makanya… aku… tidak yakin."

Nemu tersenyum kecil dan menatapku dengan tatapan ingin tahu. "Perasaanmu padanya bagaimana?"

"Aku…" Aku mengerutkan dahiku bingung. "Kurasa aku menganggapnya sebagai teman cowok terdekatku saja deh. Dia… sudah menjadi seperti itu dari sejak aku mengenalnya—"

"Yang adalah kurang dari enam bulan. Wow Karen, wow. Kau sudah mengecapnya sebagai teman cowok terbaikmu saja padahal pertemanan kalian belum ada setengah tahun."

"Pertemanan itu tidak melihat lamanya durasi Nemu." Aku menyipitkan mataku, bosan dengan logika berpikirnya Nemu.

"Yeah… tapi kau yakin? Apa yang ini juga tidak akan berubah menjadi perasaan seperti yang pertama?"

"Apa sih maksud—Kenno." Aku menatap Nemu dengan garang sekaligus capek. Sumpah… mesti ya dia mengingatkan aku pada Kenno? Cowok yang ingin sekali kulupakan!

"Yup, yang itu. Aku tahu awalnya kau anggap dia teman juga. Tapi lama-lama kau suka kan? Apakah Takagi juga akan seperti itu?"

"Sudahlah. Aku tidak mau membicarakan hal ini lagi. Kalau kau tetap memaksa, aku tidak mau bicara denganmu lagi sampai minggu ini berakhir."

Nemu meringis mendengar ancamanku lalu mengangguk-angguk kalah.

-to be continued-

Author's notes: Aku update lagi nih karena merasa bersalah T^T dan yang ini lebih panjang jadi… Yaah, terimakasih sudah membaca! (^o^)/* Datang lagi dan tinggalkan komen ya!

© Rio, 2013