-o—o—o—o—o—o—o-

Hanya Tiga Kata © SeYuRiO

Chapter 15: Pernyataan Perang

-o—o—o—o—o—o—o-

Oke, sekarang adalah hari jumat… dan aku masih belum lancar memainkan tekniknya! Huhu… jadi kepingin nangis nih. Lenganku kebas sekali kalau harus lurus dalam jangka waktu yang sangat lama. Aku tak sanggup lagi.

"Oi, semangat dong tuan putri. Nanti Eri semakin mengejekmu loh," bisik Kak Shiomi, ikutan berjongkok di sampingku.

"Bagaimana lagi dong kak, aku sudah capek…" keluhku, membiarkan kepalaku jatuh ke bawah.

"Semangat dong! Kamu kan masih muda Karen! Giliranmu sebentar lagi loh! Nanti kalau kau bisa melakukannya dengan sempurna, aku akan—erp! Eri melirik kita!" bisik Kak Shiomi keras-keras dengan nada ngeri. Aku mengangkat wajahku dan menatap ke arah depan… benar saja. Kak Eri sedang melemparkan lirikan mautnya pada kami! Hiiii! Seraaam! Aku salah apa lagi?

"SHIOMI! KE SINI KAMU! KOORDINATOR MALAH MALAS-MALASAN!" teriak Kak Eri dengan lantang, alis tertekuk dan tangan di pinggang… Super menyeramkan. Seakan-akan ada api di sekelilingnya, berkobar-kobar penuh amarah.

"Euh, damn… aku hanya ingin istirahat sebentar…" keluh Kak Shiomi sambil bangkit dengan perlahan. Dengan langkah gontai dia menghampiri Kak Eri yang sudah memarahinya lagi habis-habisan. Nah Kak, itulah yang kurasakan. Aku juga hanya ingin beristirahat sebentar kok…

Sepuluh menit lagi giliranku nih. Aku menatap langit-langit ruangan klub, lalu ke arah depan, ke arah Kak Eri yang sedang memberikan instruksi pada anggota klub yang sedang di tes, yang mukanya sangat serius (selalu), ke sekelilingku… ke arah…

"Karen! Halo!" Orize melangkah masuk ke ruangan klubku sambil menarik tangan… Kenno. Melihat mereka, dan tangan mereka yang bertautan menimbulkan perasaan tak enak, perutku seakan-akan diremas-remas, jantungku dipalu dengan dahsyatnya…

Aku meneguk air liurku. God, di tengah ketegangan tes mengapa pula aku harus menerima pemandangan ini?

"Halo juga," sapaku ragu-ragu. Aku yakin, pasti sekarang dahiku sudah berkerut-kerut. Bingung, ya. "Apa yang kalian lakukan di sini? Ini klub memanah loh… Basket kan di gedung olahraga…?"

"Iya, kami tadi ada barang yang ketinggalan di ruang klub. Ruang klub kita berdekatan, jadi kami mampir deh. Si Kenno mau—"

"AHAHA! Aku mau melihat-lihat saja," potong Kenno dengan gugup, sesekali dia melirik Orize yang sedang tertawa geli akan reaksi Kenno yang super aneh itu. Dan aku merasa semakin terabaikan.

"Uh, kami sedang ada tes," kataku memberitahu dengan bingung. Apa yang harus kukatakan? Di tengah kegalauan dan ketidaknyamanan di antara aku dan Kenno, Takagi muncul dan menyapa mereka dengan ramah. Mereka kan teman sekelas.

"Giliranku masih nanti, karena nama depanku dari U Orize," kata Takagi setelah berbasa-basi.

Sementara mereka berbasa-basi, aku dan Kenno bertatapan dengan dalam. Aku tidak mengerti. Terakhir bertemu sih sewaktu makan bareng itu… dan, aku menghindarinya lagi. Apa Kenno menyadarinya ya? Makanya dia tidak menyapaku sekarang…? Aku jadi gerah berpandangan seperti ini, kalau Orize sadar…

"KAREN! KALAU KAMU MAU MAIN-MAIN, KELUAR SAJA SEKARANG!" seru Kak Eri dari kejauhan, memandangku dengan sinis. Lalu kulihat di tempat tes, di samping Kak Eri, sudah tidak ada orang lagi yang berarti… SEHARUSNYA SEKARANG GILIRANKU! Uwaaah… Kak Eri marah lagi! Bagaimana ini?

"Nah, Karen, selamat berjuang!" kata Takagi yang ternyata sudah menarikku ke tempat tes. Aku sudah akan meringis, meminta bantuan Takagi entah dalam bentuk apa itu, tapi Takagi malah tersenyum dan menepuk-nepuk kepalaku lagi, membuatku berdebar-debar lagi.

Jarang sekali sih ada cowok yang berlaku manis padaku…

Heh, apa yang kupikirkan? Jangan bilang bahwa aku mempertimbangkan Takagi sebagai… NOO! Fokus! Fokus!

Aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku saat Takagi sudah menepi ke tempat Orize dan Kenno, lalu aku pun menoleh ke arah mereka. Orize tersenyum menyemangatiku, membisikkan kata semangat sementara Kenno… dia hanya terdiam menatapku dengan dingin, seakan-akan dia tidak suka. Dan ketika itu, aku langsung merasa tertohok.

"Sudah siap belum?" tanya Kak Eri sambil mendecakkan lidahnya, tak sabar.

Dengan banyaknya beban perasaan dan pikiran-pikiran aneh yang bersemayam di benakku, aku gagal mendapatkan nilai 'sempurna' dalam tesku. Panah keluar jalur, meluncur sebelum disuruh, melenceng… bahkan ada yang hanya setengah jalan meluncurnya, tidak sampai di papan panahnya.

"Makanya latihan yang serius! Didengar dong kalau ada instruksi!" ucap Kak Eri dengan sinisnya, kata-kata yang keluar benar-benar seperti racun. Dan aku hanya bisa diam, tidak dapat membalas. Menatapnya pun aku tidak mampu.

Kenapa sih rasa-rasanya tidak ada yang berjalan baik untukku?

Takajima bersikap dingin padaku. Kenno juga. Kak Eri membenciku.

Dengan langkah gontai dan kepala menunduk aku berjalan menepi ke arah Takagi. Duh, aku ingin sekali menangis…

"Sudah dong Karen, jangan sedih lagi. Kak Eri memang belakang ini suka sensi. Kamu gak seburuk itu kok, kita kan sudah sering latihan…" Takagi menepuk-nepuk pundakku.

"Tapi aku tetap payah kan?" tanyaku dengan suara yang bergetar sambil menengadah memandang Takagi. Melihat air mataku yang menggenang, Takagi menatapku dengan lembut dan mengusap air mataku yang belum jatuh itu.

Kebaikannya membuatku ingin menangis lebih banyak.

"Sudah-sudah… Semua akan berjalan dengan baik kembali. Sekarang, ayo minum."

Aku mengangguk dan hendak menelan air liurku, dan ketika itulah aku sadar betapa keringnya tenggorokanku. Dia pun menyodorkan minum dan aku meneguknya. Dia hanya tersenyum dan mengelus rambutku, seakan-akan aku ini anak kecil.

Tapi ternyata... aku tidak keberatan.


Sepulangnya dari klub, Takagi pulang bersamaku dan lagi-lagi aku mendapati Takajima menungguku kali ini di depan loker sepatuku. Yah, mau tak mau aku harus menghadapinya deh. Padahal aku sedang tidak niat.

"Uh, Halo Takajima… apa yang kaulakukan di depan lokerku?" tanyaku tanpa nada ketus seperti yang biasa kulakukan padanya.

Begitu mendengar suaraku, Takajima langsung menoleh dan matanya membulat besar sekali. Dan dia tersenyum senang. Anak aneh…

"Karen! Akhirnya kamu keluar juga! Aku mau… minta maaf."

"Untuk apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Dia menatapku dengan sedih.

"Karena aku mengacuhkanmu. Sebenarnya aku tidak mau, tapi kata Yugi, itu adalah taktik yang jitu untuk—"

"TAKTIK APA?"

Aku terbelalak saking kagetnya. Dia mengacuhkanku karena… itu adalah TAKTIK? Dia meminta pendapat dari ENABA? Sumpah! Itu adalah taktik paling menyebalkan di dunia! Dasar murahan!

Takajima melihatku dengan takut-takut sambil meringis. Dia lalu mengatupkan kedua tangannya di atas kepalanya dan meminta pengampunanku.

Aku masih tidak mempercayai pendengaranku. Dia… yang sok polos… memakai taktik…? Aku ingin sekali marah.

"Terserahmu saja. Aku tidak peduli," kataku sambil membuang muka dan membuka pintu lokerku, mengacuhkan keberadaan Takajima sepenuhnya. Sebenarnya sih aku ingin mencincangnya! Hiih! Dia sudah membuatku bingung setengah mati selama dua hari! Oke, hampir dua hari…

"Tapi… aku masih penasaran sama jawabanmu." Takajima melirikku masih dengan tampang bersalah.

"Jawaban apa?"

"Apakah kamu mau menjadi pacarku?"

Astaga! Aku lupa! Aku nyaris saja menepuk kepalaku—atau menjedotkan kepalaku ke pintu loker, yang manapun okelah—sebelum aku menyadari semburat pink menyebar di pipiku. Baru saja aku mau mengelak, tiba-tiba Takagi sudah datang dan muncul di sampingku. Dia tersenyum lebar seakan-akan jahil, tapi ketika dia menatap Takajima, dia seperti… tidak suka. Dan itu seram…

"Wah, jadi yang menyebabkanmu menghindarinya itu karena kamu ditembak ya Karen?" tanyanya blak-blakkan dan membuat mataku terbelalak.

Takajima menaikkan alisnya dan menatapku dengan segera. O-ow…

"Kau… menghindariku?"

"AAA! Bu-bukan begitu, aku hanya…" Aku kehabisan kata! Ba-bagaimana ini? Huwaaa… aku tidak mau dia tahu kalau aku menghindarinya juga! Uh, apa yang harus aku katakan? Aku pun melirik Takagi dengan ganas dan segera menarik lengannya menjauh dari tempat itu. "TAKAGI! SINI KAMU!"

"Hey, no way! Takajima Ryuji, kan?" Takagi bertahan di tempatnya meskipun aku sudah menarik-narik lengannya dan melemparkan lirikan kematian tapi rupanya dia tidak jera. Dia malah menatap Takajima dengan tenang dan… entahlah, menantang? Dan berkata lagi, "Aku juga menyukai Karen."

Apa?

"Dan kali ini aku tidak akan membiarkan kesempatanku hilang lagi."

-to be continued-


Author's notes: Yay! Aku tidak sabar untuk mengepost chapter ini! Bagaimana? Semakin panas gak? Semakin seru gak nih? KOMEEEEN! Hahaha. Ditunggu masukkannya! :D Dan chapter berikutnya… mungkin munculnya agak lama, jadi… selamat bersenang-senang dengan cliffhanger ini! Haha! *cruel mode: on*

PS: maafkan saya atas betapa pendeknya chapter ini.

© Rio, 2013