-o—o—o—o—o—o—o—o—o-

-Mengapa Kau Berbohong? © SeYuRiO-

-o—o—o—o—o—o—o—o—o-

Mengapa.. Mengapa menjadi seperti ini?

Aku sudah lebih dulu..

Ya kan?

.

"Aduh!"

"Kau gak pa-pa?" sebuah tangan terulur kepadaku. Siapa?

"Ayo bangun! Pegang tanganku." dia tersenyum. Manis sekalii… Aku jadi berdebar-debar…

Setelah menerima uluran tangannya aku berdiri dan membersihkan debu di lututku. Tapi, perih… mungkin lecet ya..

"Ah.. kau luka ya?" tanyanya. Dada ini berdesir sekali lagi… Pemuda ini baik sekali. "Ini plester. Dipakai ya!"

Aku menerima plester luka itu dengan malu-malu. Setelah itu, pemuda itu pergi tanpa mengucapkan namanya – tanpa sempat menerima ucapan terimakasihku. Apalagi yang lebih keren daripada itu? Aku hanya bisa memandangi sosok punggungnya yang menjauh.

.

"Loh! Kau yang tadi pagi!"

"Aah, iya! Hai! Tadi terimakasih ya!" Aku tersenyum ragu-ragu.

"Psst, siapa?" tanya Heni, teman karibku.

"Yang kuceritakan itu," bisikku.

"Ooh… keren ya!" Heni terpana menatap pemuda itu lalu menyambar tangan pemuda itu. Mataku dan mata pemuda itu membelalak kaget.

"Hai! Namaku Heni! Jadi, kau yang menolong temanku ya? Kebetulan kita sekelas, hahaha!"

"Aah, iya. Namaku Gio. Kalau kau?" Pemuda bernama Gio itu menatapku sambil tersenyum.

"Aa.. aku Karen."

Pertemuan pertama yang menyenangkan dan mendebarkan.

-o—o—o—o—o—o—o—o—o-

Setiap hari, debaran ini semakin kencang. Entah apa ini namanya. Kami bertiga selalu sekelas dan selalu kompak. Walau sudah berlangsung selama 7 tahun, debaran ini tetap tidak berkurang. Apakah ini yang dinamakan cinta?

"Yo! Ngapain kau di sana?"

"Aduh, bikin kaget aja! Aku lagi belajar..." kataku sambil menunduk. Aduh… Jantungku berdetak kencang sekali, rasanya seperti mau meledak. Tolong hentikan…

"Hm? Seperti biasa ya! Ga bosen apa belajar terus? Heni udah dateng belum?" Gio duduk di sebelahku.

"Belum. Kesiangan terus sih dia. Kayaknya mau dipasang jam weker 7 buah juga ga ngaruh. Hahaha…"

"Iya, dasar kebo… Ahhahaha…"

"Siapa yang kalian panggil kebo hah?" Heni menepuk pundak kami.

"Sejak kapan kau di sini?" Gio menengadah dengan wajah terganggu. "Mengganggu-mengganggu!"

"APAAA? Kaupikir siapa yang mengganggu? Kau kan mengganggu Karen belajar!"

Mereka terus bertengkar sementara aku terus tertawa. Rasanya menyenangkan sekali… aku menyukai kalian berdua, selamanya.

.

"Kau suka Gio ya?"

"Hee-" aku memandang Heni tiba-tiba. Jantungku hampir copot! Ngapain dia nanya-nanya hal begituan setelah 7 tahun? "apaan sih!"

"Iya kan.. iya kan?" Heni terus menerus menatap lekat wajahku yang makin lama makin memerah. Rasanya memalukan..

"Iya ga?"

"Ga kok! Heni kali… daritadi mojokin aku terus. Suka ya?" serangku balik. Heni langsung tercekat. Wajah isengnya lenyap digantikan wajah kaget. Entah mengapa aku mesti berbohong… Tapi, aku tidak tau, cinta itu apakah yang seperti kurasakan padanya atau tidak? Jadi, dibilang bohong juga ga bisa kan? Hahaha…

"Aku…" Heni memalingkan muka lalu berlari meninggalkan aku sendirian di parkiran. Rasanya aneh, kenapa jadi serius?

.

Ngapain mereka di pojokkan duaan? Berbisik-bisik tentang apa? Mengapa mereka berdua mesra sekali? Aku… Aku gak suka…

"Hahaha, Boleh juga..." Gio menoleh ke arahku kemudian matanya membesar. "Yo! Sini! Sini!" Gio memanggilku dan Heni juga tersenyum-senyum bahagia. Aku senang masih mereka ingat, tapi… kenapa perasaanku gak enak?

"Aku punya berita bahagia nih."

"Apa?" aku tersenyum penasaran.

"Kami akan menikah setelah skripsi kami selesai!"

Senyumanku membeku… Rasanya, aku seperti orang tanpa tujuan… Hampa.

-o—o—o—o—o—o—o—o—o-

Rasanya sakit sekali…

Serasa menjadi yang terbodoh dari yang bodoh…

Semuanya menjadi suram.

Mungkin lebih baik aku pergi saja…

.

"Makasih ya Ren. Berkat kau, aku jadi mengerti perasaanku sama Gio tuh seperti apa. Dateng ya! Kau yang paling kami harapkan! Oke?"

"Ah… ya…" Aku menatap mereka berdua sambil tersenyum, namun, ada yang hilang. Perasaan sukaku hilang. Rasanya seperti dikhianati..

Mengapa aku bilang tidak? Mengapa?

Setiap hari mereka bermesraan di depanku. Membuatku ingin pergi saja untuk menyembunyikan rasa tak sukaku. Tapi, aku tak bisa berbuat seperti itu… Kedua sahabatku akan tersakiti karenanya. Dengan mengucapkan selamat tinggal pada perasaanku, aku mendampingi mereka semampuku sampai akhirnya aku lulus. Heni pun telah disidang dan lulus dengan baik. Begitu pula Gio. Apakah aku bisa melupakan perasaan ini?

"Ren, menurutmu, baju pengantin mana yang bagus?"

"Semuanya bagus-bagus kok. Apalagi badanmu langsing. Semua pasti pas di tubuhmu. Tinggal pilih sesuai mood aja." Kataku cengengesan sambil membolak-balikkan majalah berisi baju mode.

"Hmm, gitu ya?" Heni melirikku. Lalu sambil mengepas baju, dia mendesah dan berkata, "Kau tau tidak mengapa aku jadi menikah dengannya?"

"Kenapa?" tanyaku tanpa memandang Heni. Mataku terpaku kepada majalah itu. Aku terus berharap dalam hati ini agar jangan membahas hal itu… jangan katakan… Tapi, di lain sisi aku pun ingin tau. Bila melihat wajahnya sekarang, aku takut aku tidak bisa bertahan lagi.

"Karena…" Heni berjalan mendekat sementara aku berpura-pura asyik membaca majalah yang sama sekali tidak menarik. "karena aku bilang kau tidak mempunyai perasaan khusus padanya."

Apa?

"Ya… karena itu. Kemudian, karena kau bertanya padaku, aku jadi sadar bahwa aku juga menyukainya, jadi aku memberanikan diriku menyatakan perasaanku. Dan aku diterima. Big thanks to you!" Heni mengguncang-guncangkan bahuku lalu pergi mengepas baju lagi. Aku sekarang hanya bisa tersenyum hampa.

Semua salahku sendiri. Aku menggali lubang kuburku sendiri… ya kan? Andai waktu itu aku bilang iya, mungkin akulah yang ada di sini mengepas baju pengantin dengan wajah bahagia. Mungkin pertemanan kami tidak pernah rusak… Semua salahku sendiri…

"Karen…" Heni termenung melihatku menangis. Tapi aku tak bisa jawab sekarang. Aku terlalu sakiiit…

-o—o—o—o—o—o—o—o—o-

Walau hanya segores, rasanya sakit sekali…

Perih seperti yang kujalani setahun terakhir ini…

Dengan begini, mungkin aku dapat melupakannya.

Pandanganku semakin kabur…

Menyedihkan, hidupku berakhir hanya seperti ini.

.

Berisik…

"Sepertinya kita sudah keterlaluan..."

"Aku gak tau kalau bakal jadi begini... Maafkan aku."

"Matanya terbuka! Matanya!"

Siapa sih? Kok ada bayangan orang? Ini bukan di surga ya?

"Oh! Thanks God!" Sedetik kemudian, seseorang menubrukku sampai sakit rasanya. Dari bau shampoonya, mungkinkah ini Heni?

"Hen, be-rat…"

"Oh! Maaf, maaf!" Orang yang menubrukku langsung bangkit dan menghapus air matanya. Dapat kulihat matanya merah sekali dan aku bersyukur sekali melihatnya menangis. Rasanya seperti dia mempedulikanku. Aku ingat, mengapa aku menyukainya…

"Maaf ya. Pasti kalian kaget kenapa aku kayak begini. Hhuh… sekarang aku hanya boneka dengan kawat rusak yang terbaring di ruangan serba putih… Lihat, tanganku tak bisa bergerak." Kataku sambil tersenyum, mencoba membangkitkan semangat. Tapi, mereka berdua malah tambah muram. Tangisan Heni semakin deras.

"Kalian kenapa? Udah donk! Kalo kalian begini terus, aku jadi tambah gak enak… Kenapa juga kalian gak biarin aku kehabisan darah sekalian, jadi kan-"

"Jadi apa? Kaupikir bagaimana perasaanku saat menemukanmu terbaring berlumuran darah? Kaupikir aku senang hah? Kau tau tidak bagaimana kacaunya aku saat itu! Jangan ngomong sembarangan!" Heni berteriak dengan suaranya yang serak sambil menatapku dengan shok. Gio pun membelalakkan matanya, sampai-sampai aku merasa tidak bisa lagi bicara.

"A…"

"APA?"

"mati… jadi aku bisa mati…"

PLAK!

Mataku membelalak saking kagetnya. Aku ditampar oleh orang yang kusayangi! Aku.. Mengapa airmata ini menetes? Tidak… jangan…

"Jadi itu yang ada dipikiranmu? Mati? Kaupikir kami ini apa? APAAA?"

"Kalian tidak tau…"

"YA! KAMI TIDAK TAU! BERITAU KAMI!" Heni berteriak. Gio menutupi sebelah matanya dengan telapak tangannya yang besar.

"AKU TIDAK BISA!"

"KENAPA?"
"KARENA.." aku tercekat. Tidak. Aku tidak bisa bilang.

"Karena kau suka Gio kan?" Heni berbisik hampir seperti mendesis, dan aku sangat kaget mendengar jawabannya. Tepat sekali menusukku, perasaan yang telah kukubur dalam-dalam ini menggenang ke permukaan.

".. ya.. YA! KARENA AKU MENYUKAINYA! Dan aku begitu bodohnya mengatakan tidak… Aku tersiksa melihat kalian... Tapi, aku tidak mau membenci kalian! Aku seperti terombang-ambing dalam kehampaan yang tiada ujungnya… Aku ingin mati! Ingin mati! ingin mati…"

"Cukup ren… Aku juga suka kamu. Dari awal sampai sekarang…"

"Bohong…" Aku menatap tajam tangan Gio yang bersantai di pundakku.

"Itu benar ren. Maafkan kami yang membohongimu keterlaluan. Memang benar, setelah mendengar pertanyaanmu, aku sadar aku juga menyukainya."

"Heni?" Gio menatap Heni dengan heran. Sepertinya ini di luar skenario mereka. Apakah semua yang dikatakan Heni benar?

"Ya.. Gio, tolong kau diam dulu," kata Heni, menghela napasnya. Sesaat kemudian dia menatap lurus mataku dan tampak genangan air mata di pelupuk matanya. Bibirnya membuka dan terdengar suara seraknya berkata, "Ka-karna itu aku setuju untuk membuatmu cemburu, memaksamu mengatakan perasaanmu yang sebenarnya pada Gio. Tapi, k-k-kamu tak pernah mau mengatakannya. Tiap hari wajahmu semakin muram. Melihat kami, kau seperti muak. Aku ingin berhenti berbohong. Namun, dengan kau semakin tertutup, kami semakin ingin mengungkapnya sehingga terus membohongimu."

Aku tercekat. Heni tau semuanya. Mereka tau, aku muak…

"Kukira, kalau kuberi tau alasan mengapa akhirnya Gio memilihku, kau akan membenciku. Membenciku pun tak apa. Yang penting, kau mengatakan perasaanmu. Tapi kau malah menangis…" Heni menangis lagi. Aku merasa sakit melihatnya… Maafkan aku Hen.

"Kau me-me-menangis dan aku semakin ingin membongkar trik ini. Aku sudah tak tahan lagi… Malam itu, aku berencana membongkarnya. Tapi, yang kutemukan hanya kau yang…" Heni tercekat. "dan akhirnya kau disini. Kupikir kau benar-benar akan mati. Seminggu tidak bangun-bangun. Aku sangat cemas t-tau! Aku merasa ini semua karena kesalahanku yang mempermainkan perasaanmu… Co-coba kaupikirkan bagaimana pe-e-ras-s-saanku!"

Air mata ini jatuh… Kini aku merasa terlebih sakit lagi mengetahui perasaan temanku. Aku ini jahat sekali! Hanya "Maaf," yang dapat keluar dari mulut ini. Hanya itu..

"Kalau terlambat sedetik saja, mungkin aku akan terus dihantui rasa bersalah kepadamu! Aku akan masuk RSJ…"

Aku tertawa kecil. Rasanya perasaanku sangat ringan mengetahui semuanya. Terimakasih.. "Terimakasih sudah menyelamatkan aku.."

Heni dan Gio akhirnya tersenyum. Senyum tulus yang hampir tak pernah kulihat lagi sejak hari kebohongan itu. Momen ini akan selalu abadi di hatiku. Aku menyukai kalian... Maafkan aku yang telah jahat ingin lari dari perasaanku ini. Maaf ya..

"Kenapa kau menangis lagi?" Gio menatapku dengan cemas.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Aku baik-baik saja..."

-END-

….

.

Author's note: Hai! Makasih udah mau ngeklik dan baca cerita ini sampai habis. Aku sudah lama membuatnya jadi bahasanya rada-rada kekanak-kanakkan tapi kuharap kalian menangkap ceritanya dengan baik. Maksud dari cerita ini adalah:

Kebohongan selalu ditemui dengan berbagai motif. Apapun motif itu, tidak akan membawa kebaikan untuk siapapun. Hanya dengan kejujuran, rasa damai dapat kita temukan dan kebenaran dapat terungkap. Jadi, ayo berkata jujur, berlaku jujur untuk apapun itu. Sekalipun sempat berbohong, cepatlah hapus dengan kejujuran agar akibatnya dapat diperkecil :D

Oke readers, have a nice day! ;D

If you want to leave your comment for me

Press the pretty button below!

I'll be gladly accept it