Author's Note: Halo teman-teman! Kemarin sewaktu mengecek email-email lama, kutemukan… TARAAA, cerita lamaku. Judulnya "MAAFIN AKU VIANA" Kupikir bagus juga kali ya kalo ditaruh di FP. Terus namanya kuubah dan jadilah cerita yang seperti kalian lihat ini. Liat dan bacanya bener-bener bikin nostalgia sama cupunya dan lugunya diriku #HHAA!
Ini ceritaku yang udah lama banget nih… Udah kuubah dikit kata-katanya supaya menjadi lebih bagus (Haha) dan kutambahkan detailnya jadi lebih panjang. Menurut kalian cerita ini bagaimana? Nangkep jalan ceritanya gak nih? Cukup misterius dan sedih gak? Okee, kalo berkenan jawab, klik tombol review di bawah ya! Selamat membaca! Huaaaaaah! *happy*
-o—o—o—o—o—o—o-
MAAFKAN AKU VIANA
-o—o—o—o—o—o—o-
Aku dan Viana sudah berteman sejak kami berumur 4 tahun. Kami sangat akrab, ke mana-mana pergi bersama, berebut makanan dan pakaian, menangisi burung yang mati, berlomba lari paling cepat, yaaah, pokoknya suka dan duka kita jalani bersama-sama. Rupa-rupanya semua ini harus selesai ketika kami berumur 8 tahun. Viana harus pergi ke Singapura karena papanya mendapatkan dinas kerja di sana. Aku tidak tahu apa itu dinas, apakah seperti bermain? Yang jelas, aku tidak mau berpisah dengannya; begitu pula dia. Namun apalah daya dua orang anak kecil? Kami hanya bisa menangis dan melewatkan detik-detik terakhir kami berdua, melakukan apa yang pada akhirnya tidak bermakna sama sekali karena kami kebanyakan berargumen.
Waktu semakin sempit, aku semakin tidak mau kehilangan dia, teman baikku. Ketika kulihat Viana dan keluarganya keluar dari rumahnya dengan koper-koper yang begitu besar, aku langsung menyerbunya dan merangkulnya agar dia tidak bisa pergi. Lagi-lagi, apalah daya seorang anak kecil? Apapun rengekanku tetap tidak akan bisa membuat Viana tinggal di sisiku.
Viana berjanji bahwa ia akan mengabariku sesampainya di sana, sehingga pertemanan kami tetap berlangsung selamanya.
"Sudah donk Anita, aku kan tidak pergi selamanya. Aku bisa kembali lagi ke sini saat liburan. Kalo gak ada liburan juga, aku akan bujuk papa untuk mengadakan trip ke sini lagi." Mata Viana berkaca-kaca dan ingus mulai mengalir dari lubang hidungnya.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku dan merangkulnya erat-erat. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau. Aku harap dia tidak jadi pergi. Mengapa sih di dunia ini harus ada perpisahan menyebalkan seperti ini?
Aku dapat merasakan air mata Viana di bahuku. "Aku juga janji, aku bakal selalu nelpon kamu, Nit! Aku janji bakal ngirimin kamu surat setiap hari!" sumpahnya sungguh-sungguh dengan suara serak dan putus-putus.
Aku yakin dia sama sedih dan tidak mau meninggalkan aku juga. Dapat kurasakan tangannya mencengkram pundakku dengan erat, aku yakin kuku-kukunya meninggalkan bekas. Aku tidak peduli. Aku… aku tidak boleh membuat Viana menjadi lebih sedih lagi, meskipun aku tidak mau dia pergi…
"Janji ya, Via! Janji…" pesanku sambil merangkulnya, berharap tidak akan melepaskannya.
Lalu kami pun menangis meraung-raung bagai singa, lama sekali, sampai-sampai orang tua kami harus memisahkan kami. Detik itu juga, Viana menaiki mobil itu bersama orang tuanya dan menghilang dari hadapanku untuk selamanya.
Selamanya? Ya, kupikir aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Hari demi hari berganti, aku selalu menantikan telepon Viana. Setiap hari aku berada di depan telepon rumahku, berharap agar benda itu berdering dan terdengar suara Viana, menyapaku dengan suara cerianya. Namun, Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, deringan itu tidak pernah datang.
Mungkin dia lupa nomor telepon rumahku. Viana memang kesulitan dalam menghafal nomor. Mungkin dia akan mengirim surat, karena dia hafal alamat rumahku.
Itulah yang kukatakan pada diriku agar aku tidak putus asa. Aku tidak mau percaya bahwa Viana melupakan aku, walau hanya sehari. Sebagus apa sih Singapura? Aku tidak percaya.
Tapi satu pucuk surat pun tak kunjung datang, Saat itulah, aku mulai percaya bahwa Viana melupakanku. Sejak itulah aku mulai membenci dan melupakan Viana. Foto-foto kami berdua kumasukkan ke dalam kardus dan kusimpan jauh-jauh dariku hingga aku sendiri tidak tahu lagi keberadaannya. Barang-barang kesukaan kami, aku buang semua.
Aku tidak butuh teman yang semudah itu melupakanku. Aku tidak butuh Viana. Aku bisa kok hidup tanpa dirinya, aku bisa. Dunia belum berakhir, pikirku penuh dendam.
Dan perlahan-lahan aku berhasil melupakan Viana. Kini aku duduk di bangku SMA, menjalani hari-hariku sebagai siswa biasa. Dan, di sinilah kisah ini dimulai, kisah yang aneh dan mencengangkan. Aku tidak percaya…
"Anita?"
"Eh?" gumamku kaget. "Oh, kamu Ri. Kirain siapa…" Aku membiarkan kepalaku kembali tertopang oleh telapak tanganku. Pagi hari yang membosankan seperti biasanya… Rutinitas yang sama, tempat yang sama, orang yang sama…
"Hehe… Gimana rambut baru gue? Bagus kagak?" tanyanya penuh harap sambil tersenyum-senyum dan memainkan rambutnya. Riri adalah sahabatku dari kelas 1 SMP, satu-satunya teman yang kutemukan cocok dan dapat kupercaya.
"Hmm, bagus banget Ri. Pasti di salon pinggir jalan," ejekku setengah hati.
"Idih… Gitu banget sih! Di salon Johnny Adrean tau! Huuh!" omelnya sambil melirik Reno, cowo yang baru saja datang dan berjalan melewati pintu kelas kami. "Hai Reno!" sapanya keras-keras sambil tersenyum manis.
"Hai Ri!" sapa Reno balik sambil tersenyum manis. Setelah menyapa, Reno menaruh tasnya di bangkunya dan berjalan keluar kelas untuk menyapa temannya yang menungguinya di bingkai pintu kelas kami.
"Cih! Tebar pesona tuh..."
Duh... Kok mendadak pusing ya? Rasanya mau ambruk…
"Gandeng!" seru Riri. "Hari ini ada murid baru loh!"
"Oh ya?" tanyaku cuek.
Loh? Udah gak pusing. Ternyata cuma pusing biasa…
"Iya, menurut Cek and Ricek, tuh anak baru masuk ke kelas kita loh! Katanya cewe…"
"Terus?"
"Ah… lu mah! Gak asik!" omel Riri dan ketika itu juga, seorang anak perempuan yang sama sekali asing masuk ke dalam kelas dan menaruh tasnya di sebelah bangkuku yang kosong melompong. Aku hanya bisa tersentak kaget. Kebanyakan orang tidak mau berurusan denganku karena aku… yah, bisa dibilang aku tidak ramah dan terlalu cuek. Bagaimana lagi ya? Pengalaman pahit membuatku susah untuk percaya.
"Boleh duduk di sini? Udah pada penuh bangkunya."
Suaranya… aneh. Pernah dengar… tapi di mana ya?
"Boleh," jawabku dengan dingin dan sedikit enggan. Anak ini menimbulkan rasa aneh. Aku merasa aku mengenalnya. Wajah itu terasa tak asing di pelupuk mataku.
"Hai, aku Viviana," katanya sambil tersenyum.
"Viviana?" kataku heran. Mengapa aku harus bertingkah seperti ini? Bukan kebiasaanku untuk bercakap-cakap dengan teman-teman, apalagi murid baru. Dan lagi, namanya… aneh.
"Iya. ada yang aneh ya, Nit?" tanya Viviana heran. Satu alisnya terangkat dengan sempurna, kebiasaan seseorang yang sangat aku kenal. Siapa?
"Enggak kok…" kataku ragu-ragu dan kulihat Riri tampak sangat terkejut.
Hmm? Kenapa lagi dia?
"Halo temen-temen semua. Aku murid baru dari Singapura. Namaku Viviana. Panggil Vivi ya!" kata Viviana, memperkenalkan diri di depan kelas.
"Iya!" seru teman-teman sekelas dengan penuh semangat, terutama para cowok-cowok hidung belang di kelas kami.
"Nit, loe ngerasa aneh gak sama Vivi?" tanya Riri dengan nada setengah berbisik kepadaku.
"Ya. Aku seperti sudah mengenal dia." Kupandangi wajah anak baru itu terus menerus, berharap dapat menemukan sesuatu yang dapat memberikan jawaban terhadap keganjalan hatiku ini. Tidak bisa… Mau sekenal apapun aku merasa, aku tidak bisa mengingatnya.
Mungkin, aku memang tidak mengenalnya.
Mungkin…
"Kalo loe, aneh gimana?"
"Ya, aneh ajah. Tadi pagi si Vivi langsung manggil elu "Nit". Emang kalian udah kenalan gitu?"
Aku menjadi tercekat.
Benar juga! Darimana dia tau?
Kutatap Vivi dengan tatapan tajam.
Wajah itu… Suara itu… Nama itu… Siapa sih kamu?
Kepalaku berdenyut-denyut sampai sakit rasanya.
Sepulang dari sekolah pada hari yang super aneh itu, aku langsung berlari kepada mamaku, bertanya-tanya apakah aku pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan aku amnesia. Namun, tidak. Aku tidak pernah tertabrak mobil, motor, atau bahkan jatuh dengan kepala membentur lantai. Catatan kesehatanku masih kosong melompong dengan sempurna. Aku masih sehat. Ingatanku juga…. Seharusnya begitu.
Mungkin, semua ini… hanya feeling saja. Feeling…
Mungkin pertanda bahwa aku bisa berteman baik dengannya?
Mungkin…
Aku tersenyum terhadap kemungkinan itu. Sudah lama aku tidak merasa seperti ini terhadap seseorang. Mungkin, ini adalah saatnya aku bisa bergaul dengan normal?
Semoga…
Berbulan-bulan kulalui dan seperti dugaanku, aku dapat berteman dengan Vivi. Kini aku juga dapat berteman dengan wajar dengan teman sekelas lainnya. Semua berjalan begitu sempurna, aku nyaris tidak percaya… Aku yang tidak bisa percaya, tidak bisa peduli… Kini bisa merasakan perasaan itu lagi?
"Riri… tungguin aku dong!" seruku kecapean. Riri terus saja berlari sedangkan Vivi tertawa terbahak-bahak di pinggir lapangan. Tawa yang seakan-akan pernah kudengar. Aneh, perasaan ini tidak pernah berhenti membayangiku.
"Heh Vi, jangan ketawa aja dong!" seruku kesal sambil mengejar Riri yang berada jauh di depanku.
"Hahaha… EGP, emang gue peduli! Hahaha…" ejek Vivi.
"Nit, buru dong! Lu mah lelet. Tinggal 5 menit lagi juga!" seru Riri di kejauhan.
"Ah, makanya tungguin! Udah ngos-ngosan nih!" seruku kesal.
Kami memang sedang di tes lari 15 menit. Gila! Rasanya... kaki mau patah, kejang-kejang, jantung mau copot, dan kerongkongan kayak ada batunya. Panaaas…
Detik-detik terakhir…3...2...1…ambruk deh!
"Yak, ronde berikutnya! Absen berikutnya, siap-siap di garis start! Cepat-cepat… Hei kamu, cepat baris!" Pak guru menunjuk anak-anak perempuan yang sedang bergosip di bawah pohon sambil memegang peluitnya. Anak-anak itu pun langsung berdiri dan berlari ke arah garis start, bersamaan dengan Vivi.
"Cape gila! Liat tuh! Hh hh... si Vivi. Pasti dia juga klenger!" kataku berani bertaruh.
Dan ternyata, Vivi cuma merasa cape sedikitnya saat menjelang detik-detik terakhir. Gila! Kok bisa ya? Terbuat dari apa tubuhnya?
"Wuih Vi... Loe gak cape?" tanya Riri dengan mata terbelalak.
"Enggak tuh."
"Keren! Gak gue kira, orang berbadan kecil kayak loe bisa lari cepet," kata Riri takjub, bertepuk tangan.
…
Sangat mengusikku. Kemampuan berlari cepat itu...aku pernah tau! Pernah!
Mengapa perasaan ini membanjiriku?
Ada apa dengan ingatanku? Ada apaaa?
"Nit?" panggil Vivi dan Riri bersamaan.
"Ya?" suaraku terdengar sangat serak. Kepalaku berdenyut-denyut, sakit sekaliii.
"Pusing? Migrain?"
"Enggak kok." Secepat datangnya, secepat itu pula perginya, rasa sakit berdenyut-denyut di kepalaku itu.
Kupandangi Vivi yang sedang memandangiku juga. Aneh, perasaan dekat ini membuatku gila. Aku tidak mengenalnya sebelum ini kan?
"Halo. Um, Riri?" tanyaku memastikan. Suara di ujung telepon ini tidak ada.
"Wah! Sori mbak, Anda salah sambung. Di sini yang ada Reno. Dadag!"
"Tukang ngibul! Besok ada PR apa Ri?" tanganku memegang pulpen yang akan menulis kilat di atas selembar kertas.
"Besok, PR, err… Pelajaran apa sih besok?"
Hhaa! GUBRAK!
Riri… ckckck
"Sosio, BI, Mat, Agama!" kataku dengan kesal, sambil mengacak-ngacak rambut dengan tidak sabar.
"Agama ada tugas kliping itu loh. Mat, PR halaman 27, yah pokoknya kerjakan saja nomor 1-20 deh. Kalo Sosio sama BI sih gak ada schedule,"
"Oh. Ya udah. Thanks berat ya... Pulsa mahal nih, gue putus dulu oke?" kataku cepat-cepat. Riri suka banget nge-gosip. Kalau gak aku potong pembicaraan ini, mungkin dia langsung meluncur ke gosip-gosip yang dia temukan hari ini.
"Eeh, ntar duluu! Udah siapin kado belum?"
"Buat apa? Siapa yang ulang tahun?" tanyaku heran.
"Ih Begoooo. Besok kan ultahnya si Vivi."
"HAH?" seruku kaget. "Yang bener?"
"Iya begoooo, cepet siapin. Dah dulu ya, gue mau ngerjain PR Matematika Pak Andrew tercinta! Dadah!" dan akhirnya Ririlah yang mengakhiri teleponku tersebut.
Inilah yang membuatku bingung. Nah loh! Ultah temen sendiri kok gak inget. Masa lupa sih? Iyakah? Aku kan bukan teman yang tidak perhatian sampai sebegitunya, apalagi ke teman yang sudah dekat macam Riri dan Vivi. Aku pasti ingat ah! Mana mungkin lupa. Jangan-jangan Riri ngibul lagi! Ayo, cek-cek-cek.
Dan setelah aku mengobrak-abrik meja belajarku untuk mencari sebuah buku yang berisi informasi kelas, aku tercekat. Riri tidak berbohong. Tertulis dalam data kelasku:
Viviana, 28 Maret, 081xxxxxxxxx
Dan tanggal 28 Maret itu… besok. Ya ampun Anita! Ulang tahun temen sendiri, kok bisa lupa sih?
Pagi hari datang, aku tak sabar untuk bertemu Vivi sehingga aku datang kelewat pagi. Aku ingin jadi orang pertama yang memberi kata selamat dan kado ini. Sori ya Ri, kita harus bertanding!
Pertandingan konyol di antara teman baik. Teman baik… Rasanya familiar. Bukankah aku selalu melakukannya?
Benarkah?
Ah… kapan?
Kenapa aku tidak bisa ingat sama sekali tentang masa kecilku ya?
Apa benar, ingatanku bermasalah…?
Tapi catatan kesehatanku…?
"Ahoy Anita, datang pagi juga kau. Jangan harap kau kubiarkan menjadi yang pertama." Riri tertawa licik sambil menyikutku. Aku pun menyeringai dan mengatakan hal yang sama. Heh, tanpa kau beritahu pun, aku mengerti, bahwa aku harus bertanding denganmu, Riri.
Tapi menit demi menit berlalu, Vivi tidak kunjung datang, Hingga bel masuk sekolah berbunyi pun! Astagaaa… Mana dia? Kenapa dia tidak datang-datang?
"Wah, yang ultah kok malah gak datang sih? Kado dari gue keburu basi nih!" keluh Riri kesal, menghentak-hentakkan kakinya sambil melipat tangan di depan dada.
"Makanan ya?" ejekku.
"Sok tau ih!"
"Mungkin Vivi telat."
"Terdengar aneh mengingat betapa teladannya dia, tapi… semoga deh."
Tapi satu jam berlalu, dia tak datang-datang jua. Dan dia memang tidak datang.
Rasanya dulu pernah terjadi.
"Ngapain lu? Kangen ya sama Vivi? Gue juga nih!" Kata Riri tiba-tiba begitu melihat aku menulis nama 'Vivi…Viviana' di buku latihanku.
"Apa si Vivi sakit ya?"
"Aah, bagaimana kalau pulang sekolah nanti kita ke rumah Vivi?" usulku tak tahan untuk tidak memberikan kado.
"Boleh-boleh! Tapi elo bukannya ada ekstra?"
"Bolos." kataku sambil tersenyum polos.
Lalu kami pun menyeringai dalam satu pemahaman.
Ting Tong. Ting Tong.
"Vi… buru dong!" seru Riri gak sabaran. Terdengar sahutan dari dalam rumah Vivi saat Riri hendak memencet bel pintu rumahnya sekali lagi.
"Sabaaaar!" Vivi langsung membuka pintu. "Sumpah, kalian berisik sekali. Tenang sedikit, kenapa sih?"
"Huh…kirain sakit! Taunya Bolos!" kata Riri sebal sambil menggembungkan pipinya.
"Ada apa?" tanya Vivi polos.
"ADA APA?" seru kami kesal.
"Iya ada apa?" tanya Vivi bingung.
Aneh... Apa Vivi pura-pura bodoh ya? Atau memangnya dia tidak ingat sekarang hari apa? Aku dan Riri langsung berpandangan dan sambil mendesah, kami mengeluarkan kado kami untuknya dan menyerahkan di depan matanya. "HAPPY BIRTHDAY!" seru kami sambil tersenyum lebar.
"Oh my God! You surprised me! I didn't think you would remember my birthday! It is really a surprise! Thank you so much guys!" Vivi merangkul kami berdua yang masih berada di depan pintu rumahnya. Aku dapat merasakan gerakan wajahnya di pundakku yang menandakan bahwa dia sedang tersenyum. Aku senang sekaliii! Seperti aku tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya…
Aneh bukan?
"If you two didn't show up, I would probably spend this day like usual. And, it's like super boring y'know." Vivi cemberut pada kata terakhirnya. Aku pun menariknya dari rangkulan dan menatap wajahnya yang masih cemberut.
"Nah, it's what friends are for, isn't it?" kataku, mengedipkan sebelah mataku.
Kami pun tertawa bersama-sama.
"Ah! Kalian sok inggris," kata Riri sebal, melipat tangannya lagi.
"Masalah buat loe?"
"Masalah donk!"
Kami bertiga langsung terkikik-kikik kecil.
"Haah, ngomong-ngomong Vi, kenapa lu bisa gak masuk hari ini? Gue gak nyangka kalau alasan lu itu BOLOS. Lu kan anak rajin!" tuduhku dengan bingung.
"Iya! Lu kan anak emas guru-guru!" timpal Riri.
Vivi terdiam sebentar menatap kami—menatapku dalam-dalam. Aku tidak mengerti. Aku jadi merasa tertekan ditatap seperti itu. Apa maksudnya?
"Gue lagi siap-siap pindahan. Papaku dapat dinas kerja ke…"
"Gila ya! Dia sekolah di sini juga baru 8 bulan!"
"Aku gak percaya. Sekarang kan lagi musim ujian…" kataku gugup.
Aku menatap kedua tanganku yang terkepal dengan mata membulat. Aku tidak percaya. Pindah… Dinas… Ini konyol! Kau tidak bisa pindah selama kau dalam masa ujian! Tidak peduli sepenting apa itu.
Walaupun begitu, yang membuatku sangat shock bukan hal itu. Namun, perasaan terluka yang pernah kurasakan sebelumnya. Alasan kepergiannya. Familiar. Dinas?
"Katanya dia berangkat besok. Kita cuma bisa say 'Good bye' dong! Gak bisa nganter. Huhu… sedih!" Riri merenung sedih, menendang-nendang batu di jalanan.
"Aku gak percaya..."
Kami berdua berpandangan dan menghela napas bersama-sama.
Seperti kaset yang diputar ulang, aku merasa aku tahu kejadian ini. Pernah…
"Ya udah ya! Sampai besok!"
Kami berdua pun berpisah jalan. Rasanya ada yang mengusik pikiranku…dari awal bertemu...ganjil…
"Anita, cepat masuk!" kata mama. Aku pun masuk dan segera berlari ke atas, ke kamarku. Kuhempaskan tubuhku sambil merenungi semua yang mengusik batinku selama ini.
Wajahnya tak asing lagi, suaranya juga. Kemampuan berlariya dan namanya tidak asing lagi. Semua kejadiannya sama… pernah… tapi siapa?
"Cepat ganti baju dan kerjakan PR-mu!" suruh mama dari bawah ruangan.
Yah...apa boleh buat. Lupakan semua hal itu! Ayo kerjakan PR!
Setelah kuganti bajuku, aku mengambil buku lat dan PR Mat-ku. Dan begitu kubuka bukuku itu, dapat kulihat dengan jelas dua halaman penuh berisi dengan nama "Vivi Viviana" yang kutulis di sekolah tadi pagi. Aku langsung memikirkan Vivi dan namanya.
"Vivi…Viviana. Kenapa begitu misterius? Datang dan pergi tiba-tiba. Kenapa gak beritahu aku sama Riri dulu. Kita kan temenan…" omelku sembari berbaring di tempat tidur dan mengacung-acungkan bolpoinku ke langit-langit.
"Vivi...Viviana. Vivi...Vi-vi-a-na. Viana. Vivi. Ana… Duh, ada apa sih dengan namanya? Siapa sih?" teriakku bingung sambil menggarukkan kepala.
"Nita... ayo belajar!" seru mama yang rupa-rupanya sudah berada di depan pintu kamarku dengan tangan berkacak pinggang. Ups…
"Iya mah! Iya…"
Pagi ini, sebelum ke sekolah, aku ke rumah Vivi. Vivi sudah menunggu di depan pagar rumahnya. Dia berdiri menyandar pada pagar tersebut bersama Riri yang sedang menghentak-hentakkan kakinya dengan tak sabar. Khas.
"Ampun deh lu! Lama banget sih!"
"S-O-R-I. Sori…"
"Makasih ya kalian udah mau datang!" kata Vivi sambil memandang aku dan Riri penuh arti.
"No problemo Vi. Lu mau pindah kemana sih?" kata Riri heran.
"Ke Pekan Baru..."
"Wah...beda pulau nih! Kirimin aku surat ya, kalo udah nyampe. Jangan cuma surat! Telepon, email juga!" kataku bersemangat, mengabaikan perasaan terluka di hatiku yang datang entah darimana, juga perasaan sedih akibat ditinggalkan sahabat keduaku ini, penemuanku tahun ini yang sangat berharga.
"Oke..." Vivi tersenyum dan memandangku hangat, penuh arti.
Memang kenapa ya? Gak boleh minta surat...?
"Gue juga ya, Vi! Jangan lupa, kirim makanan juga!" kata Riri menggebu-gebu.
"Dasar!" kata kami sambil cekikikan.
"Vi, kami antarnya sampai sini saja ya! Kami musti sekolah..."
"He-eh!" kata Vivi. Matanya berkaca-kaca. "Jangan lupa loh, namaku bukan Vivi saja. Masih ada terusannya!" kata Vivi dengan suara gemetaran, mencoba menahan lajunya air mata yang tampak sangat jelas di pelupuk matanya itu.
"Ya, iyalah. Nama gue juga panjang. Gak cuma Riri doank! Kami bakalan selalu ingat. Viviana…"
"Ya udah deh. Udah ditungguin papa dan mama," kata Vivi sedih. Air matanya berjatuhan dengan indah… dan terasa sepi.
"Vi, hati-hati di sana. Bener loh, kirimin aku surat. Atau apa pun. Pokoknya kabari aku!" kataku sambil merangkulnya. Riri pun turut merangkulnya.
"Kalian juga baik-baik ya!" pesan Vivi sambil tersenyum. Kemudian dia berbalik memunggungiku dan pergi ke mobilnya.
Sesaat, dia mengerlingku.
Kupikir aku tahu. Seperti kaset yang diputar… berulang-ulang.
Kepalaku berdenyut lagi. Sakiiiiiit!
Kejadian ini… Pernah. Bukan, ini sama.
Sama?
.
.
.
"…aku bakal selalu nelpon kamu, Nit! …bakal ngirimin kamu surat setiap hari!"
"Janji ya, Via… Janji…"
.
.
.
Siapa yang ngomong? Siapa sosok itu? Siapa?
"Ya udah ya...dah…" Vivi hendak memasuki mobilnya.
Aku ingat. Sosok itu...
"Viana!"
"Viana?" Riri heran. Tapi Vivi langsung menoleh dan tidak jadi memasuki mobilnya.
Apa benar dia Viana?
Vivi seperti kaget. Dia mengalirkan air matanya dengan lebih deras. Seakan tidak percaya pada pendengarannya, seakan matanya melihat hal yang selama ini dianggapnya mimpi, seakan…
"Kamu Viana kan?" tanyaku dengan suara bergetar. Air mata menggenang di pelupuk mataku.
"Kenapa kamu baru sadar sekarang? Aku sudah menunggumu begitu lama..."
Pantesan kamu begitu misterius. Aneh, ganjil, dari awal kita bertemu untuk kedua kalinya. Tapi kenapa kau memakai nama lain? Nama yang sama sekali asing bagiku… Asing.
Amarah yang sudah kukubur dalam-dalam akibat rasa terluka dikhianati itu muncul kembali ke permukaan. Aku tidak ingat lagi, siapa itu Vivi. Aku hanya tahu, dia adalah Viana, dan aku butuh memastikan luka yang telah ditorehkannya di hatiku kala itu.
Apakah dia…?
"Kenapa kamu gak menelponku? Aku selalu menunggu telepon itu berdering, memikirkanmu, kau tahu!?"
"Maaf…"
"Kenapa kamu gak pernah mengirimiku surat? KENAPA KAMU DATANG LAGI DALAM KEHIDUPANKU?" bentakku pilu.
"MAAF! Aku datang lagi untuk minta maaf. Tolong maafkan aku. Hidup aku gak tenang! Aku kangen sama kamu... Maafkan aku!" Vivi menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Dapat kulihat air matanya mengalir turun dari dagunya ke lengannya, dan terbersit rasa kasihan di hatiku, namun… amarah dan rasa benciku mengalahkan semua itu. Dia tidak tahu apa yang kualami, dia tidak tahu apa yang diakibatkannya… Dia membuatku tidak bisa mempercayai siapapun, dan apapun! Dia membuatku tidak bisa tertawa! Dia-
"Maaf? Hanya MAAF?"
Viana… kenapa? Kenapa kau mengkhianati kepercayaanku?
Kenapa Viana adalah Vivi? Bohong... Ini pasti mimpi buruk.
Tolonglah, buat ini menjadi mimpi buruk!
"Om, tante… lihat! Anita sudah mulai sadar, matanya!"
"Pak, Anita..." suara sesegukan seorang wanita.
Ramai sekali.
"Anita..."
Siapa itu…sosoknya kenal...dia...
"Riri?" tanyaku heran. Aku pun berusaha bangun dari posisiku yang entahlah apa itu, dan rasanya sakit sekali… badanku begitu kaku untuk digerakkan.
"Oh Anita! Amin deh, amiiiiin! Lu udah gak bangun semingguan lebih tau gak! Gue panik bangeeet, takut lu matiiii! Kenapa lu gak bilang kalo lu sakit DB?" omel Riri kesal dan cemas. Dari sudut mataku, dapat kulihat kedua orang tuaku berangkulan. Ekspresi mereka memperlihatkan seakan mereka ingin tertawa dan menangis secara bersamaan saat mendengar perkataan Riri tersebut.
"DB?" tanyaku dan Riri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pah, Mah, mana Vivi?"
"Siapa Vivi?" tanya Riri heran.
Loh… Riri gak tau Vivi?
Aneh. Seakan-akan permintaanku terkabul, bahwa delapan bulan kebersamaan kami dengan Vivi benar-benar hanyalah mimpi buruk. Itu semua nyata kan?
Seperti ilusi yang sengaja Viana perlihatkan untukku… Viana?
"Mah, pah...waktu Viana pergi, ada apa? Dia kenapa?"
Papa dan Mama saling berpandangan.
"Viana?" tanya mereka dengan cemas.
Aku mengangguk dan menatap mereka dengan ketegangan tingkat tinggi. Berkali-kali aku harus menelan air ludahku untuk menahan rasa gugupku. Terasa seperti dibohongi.
"Viana sekeluarga… mereka… mereka meninggal karena pesawat yang mereka tumpangi ke Singapura, kehilangan kontrol."
"Aku…maaf. Aku datang lagi untuk minta maaf. Tolong maafkan aku. Hidup aku gak tenang! Aku kangen sama kamu... Maafkan aku!"
Oh...harusnya aku yang minta maaf. Aku tidak pengertian.
Aku malah mengutukmu yang melupakanmu, tidak mengirimiku surat dan menelponku… Padahal…
Maafkan aku Viana…
"Hik…Huhu..."
"Nit, jangan nangis... Maafkan papa sama mama ya..."
"Hai Nit, aku datang berkunjung membawakanmu apel! Bahagia donk!" Riri tersenyum lebar.
"Iya deh, aku bahagia. Terimakasih ya Ri atas apelnya."
"Wah, sejak kapan lu jadi all so friendly Nit?" Riri menatapku dengan heran sekaligus geli dan senang.
Benar juga. Aku adalah orang yang dingin, cuek dan sarkastik, menjadi seperti ini?
Hmh, mungkin kebersamaan dengan Viana dalam mimpi itu membawa kembali sifat asliku.
Memikirkannya membuat seulas senyuman terkembang di wajahku.
"Anita, tau gak? Hari pas lu pingsan itu, datang murid baru. Namanya Vivi... Jadi Vivi yang itu yang lu maksud pas lu bangun?"
"Vivi?" kataku kaget.
"Iya, namanya Vivia. Dipanggilnya Vivi. Ini Vivi yang lu tanya? Kapan kenalannya?" Riri heran.
"Bukan..."
Ternyata bukan Viana, hanya namanya saja yang mirip. Vivia… Bukan Viana. Jadi, aku hanya mimpi... Mimpi yang panjang… Dia datang untuk minta maaf... Via, aku maafin kok. Aku juga minta maaf ya... aku gak pengertian...
Seraya memikirkan hal itu, tenggorokanku terasa tercekat lagi dan air mata yang sengaja kutahan agar tidak mengalir.
"Kenapa loe memandang ke langit?"
"Bukan apa-apa kok." Aku tersenyum kecil dan menghapus segumpal air di ujung mataku. Mimpi delapan bulan kebersamaan dengan Viana merupakan anugerah terindah yang pernah kudapatkan. Mimpi yang menunjukkan betapa perhatiannya Viana kepadaku, betapa dia tidak pernah berubah, dan tidak pernah melupakan aku. Mimpi yang mendamaikan hatiku… Maafkan aku yang tidak pengertian ini Viana.
.
.
Bukan salah kamu Nit. Kamu emang gak tau soal kecelakaan yang aku alami. Yang penting aku sudah tenang karena kau maafkan.
.
.
"Eh?" Aku tersentak dari lamunanku. Suara itu aku kenal. Tidak mungkin kan?
"Kenapa?" tanya Riri keheranan melihat reaksiku yang mengagetkan tiba-tiba. Dia langsung tegang dan duduk tegak di kursinya.
"Siapa yang ngomong? Tadi kamu ngomong?" tanyaku dengan mimik serius bercampur tegang.
"Ngomong apa?" Riri tambah heran.
Apa… tadi…? Vianakah?
Di dalam hatiku langsung membanjir perasaan hangat. Kurasa ya…
"Bukan apa-apa. Kayaknya aku cuma nge-khayal." kataku sambil tersenyum.
Aku tahu kalau kamu yang ngomong Vi...
"Loe tau gak, tadi malem gue mimpi aneh. Gue mimpi temenan sama orang yang namanya Vivi, kita bertiga deket banget... dia pergi ke pekan baru. Duh, mimpinya panjang banget deh, supeeeer aneh. Tapi pas loe manggil dia 'Viana', gue langsung bangun. Gue gak ngerti loh apa maksudnya. Aneh dan panjang banget mimpinya..."
"Eeh?"
END