Warning: Minor Incest
Bagi yang belum tahu apa itu incest, incest adalah hubungan seksual antara anggota keluarga dan kerabat dekat. Jadi, semisalnya… antara kakak dan adik kandung, atau antara sepupu dekat yang secara garis darah tidak diperbolehkan. Yah, gak hanya itu saja sih, tapi penjelasan ini kira-kira cukuplah ya untuk membuatmu mengerti? Kalau mau tahu lebih lanjut tentang incest, cari sendiri deh ;D
Aku sudah memperingatkanmu bahwa ini adalah cerita incest. Bila kau merasa tidak suka, jijik, menentang, maaf tapi kuharap kau pergi saja demi kebaikan dirimu sendiri. Aku tidak bisa menerima flame yang isinya mengatakan bahwa incest itu tidak benar dan sebagainya. Aku tahu itu. Ini adalah cerita tentang incest, bila kau tidak suka, tidak usah membacanya dan membuatku merasa terhina.
Oke, basa-basinya cukup sekian. Langsung aja ke ceritanya ya! Go!
-o—o—o—O—o—o—o-
WRONG KISSES
-o—o—o—O—o—o—o-
Ketika ciuman ini berakhir, aku tahu satu hal yang pasti. Hubungan ini tidak akan pernah sama lagi.
.
.
.
.
.
Selamat pagi semuanya, namaku Diana dan inilah kisahku—kisah tentang hidupku yang menjadi kacau hanya dengan satu kata yang dilontarkan oleh seorang pria yang tadinya tidak pernah kuanggap sebagai seorang pria sama sekali. Kakakku.
Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri yang membiarkan ini semua terjadi. Bagaimana pun juga, aku pun menginginkannya… Hal yang salah.
"Oh, Diana, kau mengagetkanku. Baguslah kalau kau sudah bangun, kau bisa membantu mama menyiangi kebun." Mama tersenyum lebar. Dia mengenakan sarung tangan plastik putih dan jumper ungu, dengan sepatu boots warna coklat tua.
"Ma, aku kan baru bangun. Aku butuh makan."
"Nanti saja, biar David yang menyiapkannya."
Deg! Mendengar nama itu membuatku serasa berhenti bernapas.
"Diana?"
Kembali ke realita, ini tidak boleh dibiarkan! Aku harus menghapus semua memori itu! HAPUS!
"Ya ma, aku datang." Aku pun memakai sarung tanganku dan berlari kecil mengejar mama yang sudah sampai di kebun kami. Kebun yang penuh kenangan.
Dulu kami sangat dekat, selalu bersama-sama. Orang tua kami tidak pernah mempermasalahkannya ketika David menciumku, atau ketika aku menciumnya. Kami masih sangat kecil. Ke-innocent-an kami yang menyegarkan sangat menghibur mereka, kedekatan kami membuat mereka senang.
Aku masih ingat, di bawah pohon itu, David mengecup bibirku. Aku yang berumur 4 tahun itu tertawa kecil dan berjinjit untuk mengecupnya juga. Aku juga masih ingat, ketika aku sudah sedikit lebih besar, umurku 6 tahun, aku duduk di pangkuan David dan membiarkannya memelukku dengan erat.
Aku sangat menyukainya lengannya yang dengan protektifnya melingkari pinggang kecilku.
Aku menengadahkan kepalaku untuk menatapnya yang sedang menatapku. Lalu seketika itu juga, David menciumku dalam-dalam, sensasi yang sama sekali berbeda.
Dan aku menyukainya.
Tanpa sadar, aku sudah melingkarkan lenganku di lehernya dan berbalik menghadapnya.
Membiarkannya menciumku dalam-dalam. Membiarkan air liurnya masuk ke mulutku. Membiarkan diriku membalas ciumannya dengan cara yang sama.
Ciuman yang tidak pernah aku sebelumnya berpikir, bahwa itu mengindikasikan hubungan yang lebih dari sekedar kakak dan adik. Ciuman yang salah.
Ketika kami menjadi lebih besar dan pintar, akhirnya kami belajar bahwa keintiman semacam itu hanya berlaku untuk sepasang kekasih, yang secara implisit mengacu pada sepasang manusia yang tidak ada hubungan darah, kami berhenti melakukannya. Dan aku… aku sangat kehilangan sentuhan itu, aku menginginkannya.
Setiap kali melihat David, aku tak berani menatap matanya. Aku malu… dan takut.
"Tolong operkan saos itu padaku." Tangan David terulur ke arahku, meminta. Aku langsung mengoperkannya tanpa menatap matanya, atau mengejeknya seperti biasa.
Bagaimana ya? Aku… aku takut kejadian itu terulang lagi.
"Wah, beberapa hari ini kalian diam sekali ya?" Papa mengangkat sebelah alisnya dengan geli. "Ada apa dengan kalian?"
"Ah, tidak kok Pa, mungkin Diana lagi sariawan aja, hahaha…"
Sariawan my ass, andai kau tahu David. Aku sudah menciummu, aku mengambil keuntungan darimu ketika kau mabuk. Uh, aku tak mau tahu apa yang akan terjadi kalau sampai ketahuan.
Aku hanya bisa menginjak kaki David dari bawah meja makan, membiarkannya mengerang kesakitan sementara Mama dan Papa tertawa terbahak-bahak.
Waktu itu sedang ada perayaan besar-besaran. Perusahan Papa memenangkan tender sehingga untuk merayakannya, Papa mengundang seluruh sanak saudara kami dan mengadakan perjamuan besar dengan bir dan kue-kue dihidangkan secara berlimpah. Hal itu berlangsung semalam suntuk, lebih kepada ketidaksukaanku. Aku lebih suka mendekam di kamar dan bermain internet.
Tiba-tiba kakakku masuk ke kamarku dan tersenyum manis. Hal yang jarang sekali dilakukan, dan membuatku heran sekaligus bersemu merah. Bagaimana pun juga, aku menyukainya sudah sejak lama. Aku tahu, salah kan? Tapi… aku tidak bisa menghentikannya. Dia begitu gagah, keren, dan pengertian. Selain itu, dia selalu berada bersamaku hampir sepanjang hidupku. Aku tak mengenal laki-laki lain selain dia yang bisa membuat mataku terpaku.
Mata birunya menatapku dalam-dalam seraya dia menghampiriku yang sedang terduduk di kasur dengan laptop di atas pangkuanku.
"Diana! Kau tidak berpesta?" dia duduk di sebelahku, tangannya melingkari pinggangku dan kepalanya bersandar di pundakku, membuatku gemetar dengan keinginan kuat untuk berpaling dan menciumnya seperti yang pernah kita lakukan dulu itu.
"Uh, tidak kak. Aku lagi chatting sama James. Kakak habis minum bir ya?" tanyaku sambil mengendus-endus bau tubuhnya yang begitu menyengat. Bir, hmm… bad!
"Kenapa? Aku kan sudah cukup umur."
Ya, ya… dia berumur 20, masih kuliah; sedangkan aku berumur 16… Tua empat tahun, apa coba yang kupikirkan? Tapi, begitulah, aku menyukainya. Bukan, bukan. Tepatnya lagi, aku mencintainya.
"Diana, aku capek sekali-" Jelas, jam 12 malam gitu loh! "-aku tidur disini saja ya."
Mendengar permintaannya untuk tidur di kamarku, aku langsung berdebar-debar kegirangan. Apalagi ketika dia mengecup pipiku dan ambruk di sebelahku. Saat-saat ketika dia lengannya bersentuhan dengan lenganku, membuatku merinding penuh semangat.
Kupandangi dia yang kecapekan, dengan lengan menutupi matanya. Rambut coklat tuanya jatuh dengan sempurna, bibirnya yang terpisah itu, mengundangku untuk… STOP! Aku memukuli kepalaku sendiri. Tidaaaak, jangan memikirkannya!
Oh tidak, aku tidak bisa memalingkan mataku darinya! Kancing kemejanya yang terkoyak memperlihatkan dadanya yang lapang padaku. Dada yang- STOP! UUUUGGGHH!
Aku pun dengan penuh perjuangan membiarkan diriku melawan godaan yang sangat dahsyat itu, kembali menghadapi laptop dan mengetik beberapa percakapan untuk James, teman baik kakakku yang sedang PDKT denganku. Ah, persetan dengan James, bagaimana pun juga aku tidak pernah menyukainya… walaupun pada kenyataannya, akan lebih bagus bila aku jatuh cinta padanya ketimbang pada David, kakakku sendiri.
"Oh Diana, jangan pergi."
DEG! Dia mimpi apa sih? Belum sempat aku melihatnya, tangannya sudah mencengkram lenganku. Matanya terbuka perlahan dan menatapku dengan tatapan penuh perasaan, membuatku tak bisa melawan godaan itu. Ah, sebodoh amat. Tidak ada yang tahu!
Aku pun menyingkirkan laptopku dan beranjak ke sampingnya, mengelus tulang pipi dan pelipisnya, merapikan rambutnya… sampai akhirnya mataku menjelajah ke bibirnya yang begitu penuh.
"Kak, maafkan aku."
Dengan gemetaran, aku menyapukan jempolku di bibirnya dan perlahan-lahan mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Hah, kurasa malam ini aku tidak akan bisa tidur. Semua kejadian yang terjadi belakangan ini membuatku capek.
Aku sedang mencoba tidur, memejamkan mataku erat-erat dan hampir berhasil tidur, ketika…
"Diana, kau belum tidur kan? Aku mau pinjam kalkulator."
David membuka pintu kamarku, yang bodohnya selalu lupa kukunci. Aku pura-pura tidur karena aku memang sudah akan tidur. Lagian, lebih baik aku tidak melihatnya. Kalau aku melihatnya, mukaku bisa jadi merah dan mungkin aku malah ingin menciumnya lagi, ini kan tidak benar.
Keheningan menyelimutiku. Terdengar suara langkah kaki mendekatiku dan mungkin suara tawa yang tertahan? Oh well… semoga dia benar-benar tidak tahu kalau aku pura-pura tidur.
"Diana, aku ambil kalkulatormu ya. Jangan marah padaku kalau kau tidak menyadarinya. Pokoknya aku sudah bilang."
Sialan, aku jadi ingin tertawa mendengarnya.
Namun, keinginan itu harus ditahan—tertahan, karena aku kini dalam kondisi shock.
Bagaimana tidak?
Sepasang bibir mendarat di atas bibirku untuk waktu yang sangat lama. Tangannya membelai rambutku dengan lembut.
Dia menciumku!
Ketika ciuman ini berakhir, aku tahu satu hal yang pasti.
Hubungan ini tidak akan pernah sama lagi.
END
A/N: Well, cerita baru, suasana baru. Maaf kalau mengagetkan kalian dengan tema ini. Bagaimana ya? Aku penggemar berat incest dari sejak aku kecil, aku sering membuat cerita seperti ini dan membiarkannya tidak pernah tamat, hahhaa :D Walaupun aku menyukainya tapi untuk mengalaminya sendiri, uuh… entahlah.
Nah, ini adalah oneshot. Tapi kalau kalian merasa tertarik dan ingin membacanya lebih lanjut, beritahu aku ya, aku akan membuatkan chapter selanjutnya tapi hanya bila yang menginginkannya cukup banyak. Hmm, mungkin bila paling tidak ada 10 review yang memintaku untuk membuat terusannya.
Oke sekian dan terimakasih. Bagaimana tanggapan kalian?