Suasana ruang makan yang biasanya ramai mendadak diam setelah Fabianus Aditya Wilson, sang kepala keluarga, melontarkan perkataannya. Kedua putri yang ia banggakan menatap dalam diam kepadanya, terutama putri sulungnya, Elizabeth Sarah.

"Pa, ini namanya pemaksaan!" seru Angela sambil meletakkan sendoknya.

"Angela Merici," sahut Annabel, "Ayahmu sedang bicara dengan Sarah. Jangan menyela pembicaraan mereka."

"But mom…"

Annabel kembali menatap putri keduanya,dengan harapan itu akan meredakan sedikit suara Angela. "Bagaimana menurutmu, Sarah?"

"Kalian akan sama-sama mendapatkan keuntungan. Dia baik, bertanggung jawab, dan sopan. Ayah dan ibu melakukan ini semua demi kebahagiaanmu juga."

Sarah masih tidak menunjukkan respons. Kepalanya tidak menunduk dan Aditya bisa melihat bahwa putrinya sedang memikirkan usulnya tadi. Akhirnya, Sarah memejamkan matanya sambil berkata, "Baiklah, aku akan mencobanya."

"Oh Sarah! Kau sungguh menyebalkan!" seru Angela, "Apa kita sekarang hidup di jaman Siti Nurbaya?!" Angela membanting serbet makannya dan mendorong kursinya ke belakang, "I'm finish!" dan segera berlari ke kamarnya. Meninggalkan anggota keluarga yang lain begitu saja.

Sarah kembali menghela nafas, dan ikut berdiri dari tempatnya duduk, "Aku akan bicara dengannya."

"Sarah," panggil Aditya sebelum anaknya berjalan pergi, "Jangan lupa, minggu besok kau harus menemuinya."

"Ya, Papa. Aku mengerti. Selamat malam," jawab Sarah sambil meninggalkan ruang makan dengan tenang.

Sepeninggal kedua putrinya, Annabel menatap ke arah suaminya sekali lagi. "Are you sure about this?"

Aditya menggenggam tangan Annabel dan meremasnya dengan lembut. "I don't know, dear. But let's see what's gonna happen with them…"

Senyum kecil suaminya yang memberikan keyakinan pada Annabel kalau semuanya akan baik-baik saja. "Well… let's see then…"


Sarah mengetuk pintu kamar Angela dan langsung masuk ke dalam tanpa mendengar persetujuan dari saudarinya. Ia melihat Angela duduk di tepi kasur dnegan wajah cemberut. TV di kamar itu memang menyala, namun jelas sekali tidak ada niat untuk menontonnya.

"Kamu benar-benar bodoh Sarah! Katanya kau sedang menyukai seseorang, kenapa kau malah menerima rencana perjodohan ini?!" tuding Angela.

"Angela…"

"Aku tidak percaya kalau kau sangat menuruti perintah Papa dan Mama. Mereka akan memaksamu menikahi orang yang tidak kau kenal!"

"Bisakah kau diam sejenak? Kau bahkan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk membela diri!" balas Sarah marah.

"Kau mau mengorbankan perasaanmu sendiri untuk menuruti kemauan Papa? Ini namanya pernikahan politik! Kau cuma dimanfaatkan, Sarah! Masa kau tidak bisa melihat hal itu?!"

"Siapa yang bilang kalau aku mau menerima perjodohan itu?! Aku kan hanya bilang kalau aku akan mencobanya! Itu tidak berarti aku mau menerima dia kan?!"

"Apa kau yakin bisa menolaknya? Selama kita bersaudara, aku tidak pernah melihatmu sekalipun menentang kemauan Papa! Kau benar-benar sudah menjadi boneka Papa!"

"Angela!"

Teriakan itu seakan menyadarkan Angela bahwa ia sudah berkata kasar dan hampir saja melewati batas. "Maafkan aku..."

"Kau tau Papa sama sekali tidak bermaksud seperti itu…" Sarah pun duduk di samping Angela, mulai merasa lelah dengan semua perdebatan ini. "Dan aku menerima semua ini bukan dengan pertimbangan. I've told you everything… Sampai sekarang hanya dia yang ada di dalam kepalaku…"

"The mysterious guy who helped the drunk girl?" sahut Angela dengan nada menyelidik.

"Please, don't try to make me talk about that incident… It's embarrassing… and that's not me…"

"Oh really?"

Sarah tersenyum malu. Pikirannya melayang pada kejadian 2 minggu lalu, di mana saat itu adalah saat terburuk dalam hidupnya. Rekan sekerjanya mencuri ide untuk design interior terbaru, handphone dan dompetnya dijambret orang, mobilnya mogok, dan ia harus menunggu 1 jam lagi untuk naik bus karena begitu ia sampai di halte, bus itu sudah melaju. Kesialan yang bertubi-tubi menimpanya membuat otak Sarah buntu, dan berbekal uang 150 ribu yang tersisa di kantungnya, Sarah pergi ke bar terdekat.

Sarah sadar betul kalau ia tidak kuat minum, namun saat itu ia butuh sesuatu untuk membuatnya lupa akan nasib buruk yang menimpanya sepanjang hari itu. Ia pun memesan segelas brendi dan langsung mabuk setelah tegukkan kedua. Dan ia sama sekali tidak sadar bahwa kondisinya saat itu cukup mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya.

Jika dibandingkan dengan adiknya, Angela, yang Top Model, bisa dibilang Sarah tidak ada apa-apanya. Namun, wajah indo orientalnya, dipadu dengan rambut ikal sebahu yang sekelam langit malam, membuatnya cukup tampak mencolok. Dan saat itulah ada sosok baik hati yang datang membayarkan minumannya, menariknya keluar dari bar, dan menyelamatkannya dari masalah yang lebih besar.

Di luar bar, Sarah berjalan dengan sempoyongan. Kepalanya terasa begitu berat setelah tadi ia menenggak sedikit brendinya. Samar-samar Sarah bisa melihat sosok orang yang menariknya dan mendengar otang itu berbicara sambil marah-marah padanya. Ia bisa mendengar kata-kata "Bodoh", "Payah", "Menyebalkan", "Katro", dan kata-kata hinaan lainnya. Tidak tahan dirinya dihina lebih lanjut, Sarah pun mengamuk.

"Lepaskan aku!" Sarah menarik tangannya lepas dari genggaman orang itu, "Kau pikir kau ini siapa, hah?! Seenaknya saja memarahi dan mengomeliku!"

Seseorang itu, yang ternyata adalah seorang pria, menatap ke arah Sarah dengan pandangan meremehkan, "Jadi itu ucapan terima kasihmu kepada orang yang sudah menolongmu?"

Sarah bisa melihat sosok itu dengan matanya yang tidak fokus karena alkohol. Pria itu mengenakan kacamata. Dasi dan kemeja yang dikenakannya sudah nampak tidak beraturan. Sarah bisa melihat helaian rambut berwarna kecoklatan di kepalanya.

"Dengar, aku tidak butuh bantuanmu!" seru Sarah kasar. "Kau tidak tau betapa sialnya aku hari ini! Ideku dicuri! Handphone dan dompetku dijambret orang! Mobilku mogok! Dan aku ketinggalan bus! Aku sebal!" maki Sarah sambil terisak-isak. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi. Kepalanya sakit dan kakinya terasa lemas. Sambil terduduk di jalan, Sarah mulai menangis tersedu-sedu, tidak peduli dengan pandangan orang lain.

Kepalanya sakit karena begitu banyak hal yang harus dipikirkannya dan dua teguk brendi itu tidak membantu sama sekali. Siapa yang bilang kalau alkohol akan membantu menghilangkan masalah? Sarah mengutuk mereka semua yang berpihak pada alkohol. Sudut kecil dalam dirinya menyuruhnya berhenti menangis karena ia tahu tindakannya sungguh-sungguh tidak sopan. Namun ia juga tidak ingin menghentikan air mata yang sudah terlanjur keluar.

Di tengah-tengah kondisi yang tidak bisa ia kontrol itu, Sarah merasakan tepukan halus di kepalanya. Sarah sedikit mendongak dan melihat sebuah senyum kecil nampak di wajah pria itu. ia tidak bicara apa-apa, hanya tersenyum lembut sambil terus menepuk-nepuk kepala Sarah. Terhanyut oleh kebaikan pria itu, Sarah pun memeluk pria itu dan menangis lebih keras.

"Hmm… sedang memikirkan pria itu ya?" suara Angela kembali masuk ke dalam pikirannya.

Sarah menatap adiknya lalu menunduk dengan pipi merona merah, "Habis… baru kali ini ada yang bersikap seperti itu kepadaku…"

"Aku yakin dia pasti orang baik. Soalnya dia tetap mau menemanimu walaupun kau sudah muntah di baju dan sepatunya."

Sarah meringis mendengar kata-kata Angela. "Ukh! Itu benar-benar tidak disengaja! Perutku tiba-tiba saja merasa mual dan tanpa bisa kutahan isi perutku keluar begitu saja. Sungguh! Aku tidak bermaksud untuk melakukan itu!"

"Makanya kalau tidak kuat minum sebaiknya tidak usah! Kau kan tidak kuat pada alkohol. Makan kue yang ada rum-nya saja kau langsung mabuk. Berani sekali kau minum Brendi! Untung saja kau masih ingat untuk menghubungiku dalam kondisi mabukmu itu, dan untung saja pria itu mau meminjamkan handphonenya padamu. Kau benar-benar beruntung, Sarah! Tapi pria itu malah mendapatkan kesialan bertubi-tubi," oceh Angela, sama seperti yang ia katakan keesokan paginya setelah insiden itu.

Memang benar kata Angela. Masih ada sedikit keberuntungan di tengah-tengah semua insiden itu. Ia segera menghubungi nomor Angela dengan hp pria itu dan meminta Angela untuk segera menjemputnya. Untungnya pekerjaan Angela sudah selesai sehingga ia bisa langsung berangkat dari studio pemotretan. Ketika Angela sampai, pria itu tidak ada di sana. Namun saat Angela menyalakan mobilnya dan bersiap-siap pergi, ia melihat sebuah mobil Mercy putih melaju meninggalkan lapangan parkir bar tersebut.

"Aku bahkan belum sempat bilang terima kasih. Namanya pun aku tidak tahu…"

"Bahkan nomornya pun dimunculkan sebagai 'Privat Number' di hpku. Padahal kau bisa menghubunginya kembali kalau kita punya nomornya."

"Mungkin belum waktunya… Hah… aku benar-benar berharap bisa segera bertemu dengan dia lagi… Setidaknya untuk meminta maaf dan mengucapkan terima kasih atas semua yang sudah dia lakukan waktu itu…"

"Well, sebaiknya kau segera bertemu dengan dia. Sebelum kau terjerumus makin jauh dalam perjodohan ini."

"Angela…"

"What? I'm trying to save your love life here!"

Sarah mengerang frustasi. Tidak ada gunanya berdebat dengan Angela yang terkenal keras kepala.

"Sarah! Angela!" panggil Annabel dari luar kamar.

"Ya? Ada apa Ma?" tanya Angela.

"Mandy's on phone!"

Sarah dan Angela kembali berpandangan. Senyum mengembang di wajah mereka saat mendengar nama adik bungsu mereka.


there! sudah dibetulkan beberapa Typo yang mengganggu :)

Read n Review please ;)