*Bonus Chapter* Ready for loooooonng chapter?


When I Met Her

Pertama kali melihatnya adalah malam saat aku berusaha kabur dari usaha Kathlyn untuk selalu menjodohkanku dengan wanita-wanita yang dikenalnya. 1 tahun terakhir ini, usaha Kathlyn begitu gigih sehingga membuatku kewalahan. Semua karena sosok wanita yang masih berputar di kepalaku 7 tahun belakangan ini. Di tengah pelarianku itulah aku melihatnya. Lengkap dengan dress polkadot dan jaket jinsnya. Ia nampak kacau dan seperti ingin menangis. Dengan penuh kepercayaan diri, ia memesan segelas Brandy dan langsung mabuk pada tegukan kedua. Entah apa yang membuatku mendatanginya, namun aku tau aku tidak suka pada semua lelaki di bar yang memandanginya seakan dia objek yang mudah dijadikan mangsa. Emma lah yang mengajarkanku betapa berharganya posisi seorang wanita itu. Ya… Emma lah yang selama 7 tahun ini terus menerus ada di dalam pikiranku.

Kutarik tangannya, berusaha untuk membawa dia keluar dari bar dan menyelamatkannya dari tatapan lapar para lelaki di sana. Ia mengamuk dan menampik tanganku. Ia balik memarahiku. Well, aku mungkin memang salah karena sudah menyebutnya katro dan payah, tapi aku kan berusaha menolongnya.

"Dengar, aku tidak butuh bantuanmu! Kau tidak tau betapa sialnya aku hari ini! Ideku dicuri! Handphone dan dompetku dijambret orang! Mobilku mogok! Dan aku ketinggalan bus! Aku sebal!" teriaknya waktu itu. Detik itu juga ia menangis sambil terduduk di jalan. Hari belum begitu malam dan masih banyak orang-orang yang lalu lalang. Meski mereka tidak berhenti, aku tau mereka sedang membicarakanku. Aaahh! Apa yang harus kulakukan pada wanita ini?

Aku mencoba berjongkok di sampingnya, memanggilnya. Tapi karna aku tidak mengenalnya aku hanya memanggilnya dengan "Hei". Nice try, Bernard. Wanita itu tidak bereaksi dan masih menangis. Kuputuskan untuk menepuk-nepuk kepalanya, mencoba menenangkannya seperti dulu Kathlyn melakukannya padaku.

Sepertinya tindakanku cukup memberikan efek karena ia mulai menatapku dengan kedua bola matanya yang besar dan berwarna kecoklatan. Bulir-bulir air mata masih nampak di sana dan ia nampak seperti anak kecil yang kehilangan arah. Mengingat kejadian yang baru saja ia tuturkan tadi, aku hanya bisa tersenyum. Yah… Nasib memang sedang tidak berpihak padanya. Aku masih menepuk-nepukkan tanganku pada rambut ikal sebahunya yang tebal itu, berharap ia akan berhenti menangis.

Gerakannya yang tiba-tiba memelukku, sukses membuatku terduduk di tempat yang sama dengannya. Ia kembali menangis dengan terisak-isak dan sepertinya lebih keras dari yang tadi. Aku berusaha menenangkannya sambil sekaligus berusaha menghalau orang-orang yang menonton kami. Dan saat itulah ia membalas pertolonganku dengan… mengeluarkan isi perutnya tepat di atas tubuhku.

Uugghhh… What's wrong with her?!

Apa salahku sampai aku bertemu dengannya hari ini?!


Ia sudah menelfon seseorang menggunakan smartphone millikku saat aku baru saja membersihkan jasku dari muntahannya di toilet bar tadi. Hanya itu yang berhasil kuselamatkan. Celana dan sepatuku sudah berbau tidak karuan. Aku mengambil samrtphoneku dari tangannya sambil mengeceknya. "Siapa yang kau hubungi?"

"Hmm?" ia bergumam, masih dengan kepala yang menempel di dinding dan kelopak mata yang hampir menutup. Ia terduduk di depan pintu masuk bar, menungguku mencuci setelan yang bau karena bekas muntahannya. Rasa penasaran menghampiriku saat melihat nomor yang dihubunginya. Supirnyakah? Orangtuanya? Atau orang rumah? Atau operator taksi? Tidak mungkin. Ini jelas-jelas nomor sebuah provider telpon selular. Lalu, apakah ini nomor kekasihnya? Yah, dengan postur tubuh dan wajah indo oriental itu, tidak heran jika wanita ini sudah punya pacar kan? Tapi, kenapa aku merasa familiar dengan nomor ini?

"…ela," katanya, suaranya sedikit tidak jelas, campuran antara mabuk dan mengantuk,

"Hah?" tanyaku lagi.

"Angela… Aku sudah menghubungi Angela… Dia adikku… Dan top model terkenal itu loh…" katanya meracau. Sepertinya efek alkohol yang sedikit itu mulai masuk ke dalam pikirannya. Tapi, nama yang ia sebut tidak asing di telingaku. Angela? Apakah Angela yang ia maksud benar-benar Angela yang itu? Yang top model itu?

Aku mengambil smartphoneku yang lain dan segera mengecek nomor tadi. Di sana, tertera nama salah satu model andalan agencyku, Angela Merici. Jadi, ia adalah kakak Angela?

"Angela ini… dia akan segera datang?"

Wanita itu menjawab pertanyaanku dengan anggukan kepalanya. Ia benar-benar mabuk, tapi karena Angela akan segera datang, kurasa tidak apa meninggalkannya. "Tunggu di sini. Aku akan memasukkan barang-barang ini ke mobil di sana." Kutunjuk sebuah mobil Mercy silver yang ada di parkiran bar itu. "Kau mengerti?"

Wanita itu mengalihkan pandangannya pada mobil dan padaku lalu mengangguk sebelum kembali memejamkan mata. Baiklah, kurasa setidaknya dengan tidur itu akan membantu mencegah ia muntah lagi. Kutinggalkan ia untuk memasukkan setelan kotorku ke dalam bagasi, berniat untuk mengurusnya nanti.

"Sarah!" suara seseorang yang kukenal bergema di parkiran itu. Aku menoleh ke arah wanita yang baru saja kutinggalkan dan melihat ia sedang bersama model andalan agencyky, Angela Merici. "What are you doing?!" Aku mendengar Angela meninggikan suaranya. "Ugghhh… You've vomited, right? Dammit, Sarah. Mom and Dad gonna kill you if they know about this."

Aku memperhatikan dari mobilku saat Angela berusaha membopong wanita yang akhirnya kuketahui namanya sebagai Sarah masuk ke dalam mobil sedan hitam yang dibawanya. "Wait!" seru wanita itu tiba-tiba.

"What now?! We must go home before they do!"

"He said to wait…"

Aku spontan masuk ke dalam mobil dan menutup pintu mobilku pelan-pelan saat mata wanita itu mencari di sekeliling area parkiran. "No one's here, Sarah. You're hallucinated. No one will ever come closer to you if you smell like that! Let's go home!"

"But…"

"No buts! Get in!"

Aku melihat Angela berhasil memaksa gadis itu masuk ke mobil. Tanpa sadar, aku menarik nafas lega. Malam pelarian yang kurencanakan rusak sudah semenjak aku bertemu dengan wanita itu. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Kustarter mobilku dan segera melaju pergi dari area parkiran sebelum mereka sadar aku ada di sana.


Pertemuan keduaku dengannya adalah di ruang kantor seminggu kemudian. Bukan secara fisik. Mungkin lebih tepat dibilang jika aku melihat fotonya. Fotonya ada di dalam dompet seorang direktur perusahaan asuransi tempat aku akan menjalin kontrak. Bukan hanya fotomya, foto Angela juga ada di sana dan seorang gadis berumur belasan tahun dengan rambut pirang yang diikat satu ke belakang.. "Siapa mereka, Pak Aditya?"

"Oh." Pak Aditya nampak kaget tiba-tiba kutanya mengenai foto dalam dompetnya. "Mereka adalah ketiga putriku. Kau mungkin sudah mengenal Angela, ia bekerja di sini." Aditya menunjuk sosok Angela yang berambut merah di bagian pinggir. "Ini Mandy, putri bungsuku," Gadis berambut pirang itu, "dan putri tertuaku, Sarah." Gadis berambut ikal hitam dengan panjang sebahu itu. "Mereka memang tidak mirip satu sama lain. Mungkin inilah yang disebut dengan permainan gen," jelas Pak Aditya dengan senyum penuh kebanggaan di wajahnya.

Jadi, pria di depanku ini adalah orangtua dari Angela, dan gadis bernama Sarah yang sudah memuntahi setelan Armani-ku? "Hmmmm…" Kenapa dunia bisa sesempit ini sekarang?

Suara dering telepon mengalihkan perhatianku. Aku mengangkatnya tanpa melihat siapa penelponnya. "Bernard! Dengar, aku sudah menemukan seseorang yang cocok untukmu!"

Kathlyn! God! Tidak adakah gangguan lain yang lebih baik? "Aku tidak mau ikut serta dalam rencana perjodohan itu lagi. Kita sudah mencoba segala cara yang kau mau."

"Kau sudah berjanji akan melakukannya, Bernard." suara Kathlyn berubah serius. "Ini sudah hampir 7 tahun dan kau tidak menunjukkan niat apapun untuk melepaskan diri darinya!"

"Kathlyn… not now…"

"Ya! Kita harus menyelesaikan ini sekarang! Aku baru akan berhenti jika kau memutuskan untuk segera menikah. Aku sudah cukup bersabar, Bernard. 7 tahun bukan waktu yang sebentar."

Kepalaku pening mendengar ancaman Kathlyn. Aku benar-benar tidak sanggup mengikuti permainan Kathlyn dengan semua calon pilihannya. Aku tidak ingin terlibat lagi. Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari semua ini?

Pandanganku beralih ke foto tiga wanita itu yang masih terletak di atas mejaku. Sarah… Angela… Si pirang itu… Hmm… Sarah…

Oke. Mungkin ini bodoh dan tidak masuk akal. Tapi kurasa bisa digunakan. "Dengar Kathlyn, aku tidak ingin ikut serta lagi dalam perjodohan itu. Aku sudah punya calonku sendiri."

"Apa? Kau mengatakan yang sebenarnya? Kau tidak mengatakan itu hanya untuk melepaskan diri dariku kan? Karena jika begitu, aku bersumpah akan melakukannya sampai…"

"Tidak. Aku serius. Aku bahkan sedang ada di depan orangtuanya."

"Apa? Bernard…"

"Akan kuhubungi lagi nanti."

Kumatikan telpon itu sebelum Kathlyn mengoceh lebih jauh. "Pak Aditya," panggilku pada pria paruh baya itu, "Kau akan mendapatkan kontrak yang kau inginkan, jika kau mengijinkan aku menikahi putrimu. Bagaimana?"

"Apa? Ke.. Kenapa tiba-tiba?" tanya Pak Aditya keheranan.

"Aku tidak akan mempermasalahkan persyaratannya. Kita bisa menandatangani kontrak jika anda mau."

"Kau serius? Kau tidak main-main dengan perkataanmu?"

"Apa aku terlihat seperti seseorang yang suka bermain-main dengan perkataan saya sendiri, Pak?" Akan kujadikan ini serius demi menjauhkan Kathlyn dan daftar wanitanya dariku. "Ijinkan saya menikahi Sarah, dan bapak akan mendapatkan kontrak itu."

"Kenapa harus Sarah?"

"Katakan saja ia punya hutang yang harus dibayarkannya padaku."

"Tapi…"

Sial! Aku melupakan satu hal. "Apa ia sudah menikah?"

"Memang belum," Pak Aditya menggeleng, "Aku bahkan tidak yakin apakah ia memiliki kekasih sekarang. Tapi aku tidak yakin ia akan menyetujui ini."

"Masalah itu aku yang akan mengurusnya," kataku sekali lagi. "Lihat sisi baiknya. Artisku mendapatkan pelayanan terbaik dari jasa asuransimu, sementara perusahaanmu akan terkenal dengan artis-artisku yang mempercayai jasamu, dan kurasa aku tidak terlalu buruk untuk menjadi menantumu kan?"

Aku mulai yakin rencana ini akan berhasil saat melihat raut wajah Pak Aditya yang berubah. Setali tiga uang, artisku mendapatkan pelayanan asuransi terbaik, dan aku bisa lepas dari jeratan perjodohan Kathlyn. Soal pernikahan… kehidupan pernikahan tidak akan seburuk itu kan?


Kali ketiga aku bertemu dengannya, ia sudah siap melontarkan amarahnya. Ia tampak mencolok dengan gaun batik yang dipakainya. Pak Aditya berhasil mengembalikan akal sehatnya sebelum kami menjadi pusat perhatian. Saat akhirnya kami ditinggal berdua, aku pun mulai mengutarakan maksud pertemuan ini. Bukan sesuatu yang mengejutkan saat ia menolak mentah-mentah ide pernikahan itu, tapi ia langsung terdiam saat kusebutkan mengenai insiden di bar.

"Ba… Bagaimana kau tahu kejadian itu?" tanyanya kebingungan.

Reaksinya membuatku tidak tahan untuk menggodanya. "Kurasa kau tidak akan semudah itu melupakan penolongmu kan, Nona Elizabeth Sarah?" tanyaku sambil mengedip padanya. Reaksi terkejutnya membuatku mati-matian menahan tawa. Sudah lama aku tidak merasa begitu bahagia melihat reaksi orang. Sarah memberikan reaksi yang bisa dibilang berlebihan dibandingkan orang lain dan itu sungguh membuatku merasa terhibur.

Saat ia mulai bisa menerima bahwa aku adalah orang yang menolongnya waktu itu, kami pun kembali ke pembicaraan awal dan belum selesai aku menyebutkan persyaratan pernikahan kami, dia kembali mengeluarkan protesnya. Aku menatapnya sebal, memangnya tidak bisa ia mendengarkan aku bicara sampai selesai? Ia mempertanyakan mengapa aku memutuskan untuk menikahinya dengan semua persyaratan bodoh itu.

"Sejauh ini ayahmu yang memberikan penawaran paling menarik. Sudah lama aku mencari jasa asuransi untuk agensi dan para artisku dan kebetulan perusahaan papamu memenuhi semua kriteria yang kuberikan. Sebagai gantinya, perusahaan beliau juga akan terkenal karena sekarang ia menangani artis-artis papan atas. Kebetulan yang menyenangkan bukan?" kataku sambil berusaha menenangkan diri.

"Kau bahkan bisa dibilang lebih beruntung daripada adik-adikmu, Sarah. Di antara kalian bertiga, kau lah yang mendapatkan kehormatan untuk menikah denganku. Aku tidak perlu menikahimu apabila adik-adikmu mau melakukannya." Hmm… sedikit bohong. Tapi ia tidak akan tahu kalau aku sendiri yang memilihnya untuk menjadi pasanganku kan? Lagipula, aku tidak bisa menikahi Angela yang bekerja di bawahku atau adiknya yang baru berusia belasan tahun itu. Dan lagi, kejadian di bar itu masih meninggalkan bukti di setelan Armaniku.

Reaksi Sarah berikutnya hampir membuat setelan kantorku basah, kali ini oleh jus jeruk yang dipesannnya. Refleks yang jauh lebih cepat darinya menyelamatkan pakaian dan harga diriku di restoran itu. "Sudah pemabuk, kelakuanmu juga payah," desisku mencoba menahan amarah yang keluar. Ia meronta dan balas mendesis marah saat aku mencengkram pergelangan tangannya. "Aku menolak dinikahkan dengan orang munafik sepertimu!"

Aku menaikkan sebelaah alisku mendengar ucapannya. Aku tidak pernah tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. "Well, kita lihat saja." Aku menyeretnya keluar dari restoran, meninggalkan makan siang kami yang hanya tersentuh sedikit. Masih dengan rasa amarah yang sudah sampai di ubun-ubun, aku memaksanya masuk ke dalam mobil. Ia menolak namun kemudian merubah pikirannya saat kukatakan aku akan meninggalkannya sendirian. Woman…

Kupasang seatbeltku sambil menunggu ia duduk dan melakukan hal yang sama. Namun ia tidak melakukannya. "Pakai seatbeltmu." Tidak boleh ada orang yang naik mobilku dan tidak memakai seatbeltnya. Tidak setelah kejadian papa-mama dan Emma.

"Tidak! Kenapa aku harus menuruti semua perintahmu?! Nyalakan saja mesinnya dan pergi dari sini," sahutnya ketus.

Habis sudah kesabaranku. Terkadang sikap keras kepala wanita tidak bisa kumengerti. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan segala kegilaan mereka. Aku melepaskan seatbelt yang tadi sudah kupasang dan beranjak untuk memasang seatbeltnya. Dan demi Tuhan aku tidak bisa mengerti wanita, terutama wanita ini. Sarah langsung terdiam kaku saat aku memasangkan seatbealtnya. Aku bahkan mendengar ia menarik nafas panjang. Suasana langsung senyap, namun bukan lagi karena amarah.

Aku mengalihkan pandanganku padanya, masih dalam posisi melintang di depannya. Matanya terbelalak saat ia melihatku dan bibirnya terkatup rapat. "Kau gugup," kataku melihat reaksinya. Ia menolak dengan terbata-bata. Aku tersenyum melihat reaksinya. "Kau menahan nafasmu, Sarah." Ia mencoba mengelak namun tidak bisa karena ia memang menahan nafasnya.

Aku tidak bisa menahan diri untuk memperhatikannya. Aku bahkan bisa mencium aroma parfumnya. Manis seperti permen. Matanya yang kecoklatan terlihat begitu besar dan seakan mengunci tatapanku. Bulu matanya tidak panjang namun tebal dan membingkai matanya dengan sempurna. Oh. Ada setitik kecil tahi lalat di bawah mata kanannya. Pipinya sedikit tembem dan aku tidak bisa melihat tanda-tanda perona pipi. Pipinya merona dengan sendirinya. Hidungnya sedikit mancung dan terlihat pas di atas bibirnya. Garis bibirnya halus namun membentuk bibir yang kecil itu sehingga nampak ranum. Bagaimana rasanya mencium bibir itu? Bagaimana reaksinya jika aku melakukannya?

Seakan membaca pikiranku, bibir Sarah terbuka sedikit, dan tanpa berpikir dua kali, aku menutup jarak di antara kami. Kukecup bibir bawahnya, memaksa Sarah supaya membuka mulutnya sedikit lebih lebar. Namun ia tidak memberikan reaksi, masih merasa gugup. Aku menelusuri lengannya dan merasakan kulitnya yang halus, mencoba menenangkannya. Saat itulah ia membuka mulutnya, dan aku langsung menikmati kesempatan itu. Rasanya manis dan sedikit asam, rasa jus jeruk yang tadi diminumnya. Sarah mulai membalas ciumanku, membuat pikiranku mulai teralihkan.

Tidak. Masih ada yang harus kami urus hari ini. Aku memaksa melepaskan diriku dari kenikmatan bibir Sarah yang membuatku menginginkan lebih. Aku beralih berbisik di telinganya, berharap ia tidak melihat seberapa besar keinginanku untuk menciumnya lagi. Kustarter mobilku setelah memastikan bahwa seatbelt kami sudah terpasang. Ketenangan masih menyelimuti beberapa saat perjalanan kami sebelum Sarah kembali bertanya, "Ke… Kenapa?"

Aku melirik sedikit ke arahnya. Kebingungan masih nampak jelas di wajah Sarah. "Wajahmu mengatakan kalau kau minta dicium," sahutku berbohong. Aku mengutuk diriku sendiri. Sejak kapan aku mulai senang berbohong seperti ini?

"A…apa?" tanya Sarah tidak mengerti.

Entah mengapa aku tidak bisa menahan tawaku. Setelah kupikir-pikir, Sarah memang berbeda dibandingkan wanita lainnya yang pernah kutemui. Ia tidak berpura-pura. Ia menangis saat ia ingin. Ia bisa marah dengan meledak-ledak namun saat ia terkejut, ia tidak akan pernah bisa menutupinya. Tidak "Jaim" orang-orang bilang. Dan jujur, aku menyukainya, menyukai reaksi-rekasi dan sikap Sarah. Kuraih tangannya yang terdekat dan meremasnya dengan lembut. Kurasa kehidupan pernikahan dengannya akan cukup menyenangkan. Apalagi dengan segala reaksinya itu. "Kita menikah, Sarah. Aku tau kau orang yang tepat."

Sarah terdiam sejenak mendengar perkataanku. Aku tidak peduli lagi. Kurasa rencana ini akan berjalan lebih lancar dari dugaanku. "Kau yakin?" tanyanya lagi. Yakinkah aku? Aku sendiri juga tidak tahu. Aku tidak ingin menjawabnya sekarang. Aku hanya meremas tangannya dalam genggamanku sebagai jawaban.


Kami bertemu lagi di pintu gereja. Memulai ritual misa pernikahan kami. Kuakui Sarah nampak cantik dan anggun dengan gaun pengantinnya. Oke. Terlalu cantik sampai membuatku mengalihkan wajah untuk menutupi wajahku yang entah mengapa memerah. Misa berjalan dengan lancar, pengucapan janji berjalan tanpa cela. Saat misa sudah selesai dan para tamu undangan memintaku untuk menciumnya, aku mengambil kesempatan itu tanpa pikir panjang. Mulai hari ini, kami akan memulai kehidupan pernikahan kami. Mulai hari ini kami adalah pasangan suami-istri. Mulai hari ini, Elizabeth Sarah adalah istriku. Rasa senang menjalari tubuhku saat memikirkan itu. Sarah adalah istriku.

. . .

Pesta sudah usai dan sudah saatnya kami pulang ke rumah baru kami. Kelelahan mulai melandaku. Aku menutup pintu apartemen setelah Sarah masuk ke dalam. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas. Malam ini tidak akan malam pertama seperti pasangan lainnya. Kami sudah setuju hanya menganggap pernikahan ini pernikahan politik. Namun saat sekarang aku sedang berdua dengan Sarah, melihatnya dalam gaun pengantin itu, aku tidak bisa mencegan pikiranku untuk memikirkan hal itu. Aku mengacak-ngacak rambutku mencoba menghapuskannya. Aku sudah membuat perjanjian. Tidak mungkin aku membatalkannya sekarang. Lebih baik aku masuk kamar sebelum pikiranku mulai kacau.

"Selamat malam, Sarah. Tidurlah yang nyenyak," kataku sambil masuk ke dalam kamar tamu. Sudah kuputuskan, untuk menjaga akal sehatku aku tidak akan tidur sekamar dengan Sarah. Demi menjaga perjanjian ini tetap seperti apa adanya.

"Bernard…"

Aku tidak ingin membalikkan badan. Takut keputusanku goyah, namun kalau aku tidak menanggapinya, pasti ia akan merasa aneh. Jadi kuputuskan untuk menoleh tanpa membalikkan badan. "Sarah?" tanyaku lagi karena ia tetap terdiam.

"Tidak jadi deh. Aku lupa aku mau bilang apa. Kurasa aku cukup kelelahan."

Aku menghela nafas lega. Bagus. "Kalau begitu, segeralah tidur. Kita hanya mendapatkan libur sehari saja sebelum kembali ke kantor masing-masing." Aku menutup pintu kamar sebelum aku bisa mendengar perkataan Sarah lebih lanjut. God. Kenapa aku merasa kalau pernikahan ini tidak semudah bayanganku?


Aku menyibukkan diri pada pekerjaan. Tidak ingin berlama-lama dalam rumah dengan Sarah. Mencoba menjaga akal sehatku yang entah kenapa selalu ingin menyentuh Sarah tiap kali aku melihatnya. Apakah 7 tahun tidak menjalin hubungan dengan wanita membuatku begitu bernafsu pada Sarah? Aku menggelengkan kepalaku. Bagaimana bisa aku berubah seperti ini setelah Emma tiada?

Emma… Pertama kali bertemu dengannya, aku tidak suka padanya. Ia tipe orang yang selalu ceria dan keceriaannya membuatku sebal. Ia sering memarahiku karena ia bilang aku tidak bisa berbaur dengan orang-orang yang ada di dekatku. Aku sempat marah padanya namun ia tidak menjauhkan diri dariku. Ia malah semakin rajin menggangguku dan mengajakku pergi dengan semua teman-temannya. Tapi sikap keras kepalanya itulah yang membuat aku jadi berani membuka diriku lagi. Aku bersyukur aku bertemu dengannya dan saat itu aku yakin, dialah orang yang tepat untukku. Kami memutuskan untuk pergi berlibur bersama dengan teman-teman kami untuk merayakan kelulusan sekaligus pertunangan kami. Saat kecelakaan itu terjadi, aku sungguh merasa diriku pembawa sial. Bagaimana mungkin aku selamat dari kecelakaan itu dan Emma tidak? Padahal kami dalam satu mobil yang sama? Dan semenjak saat itu, aku tidak bisa melepaskan Emma dari pikiranku. Tidak bisa dan tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita lain. Sampai Kathlyn memberikanku ultimatum yang akhirnya membawaku sampai di tahap ini.

Suara dering telepon menarikku keluar dari kekalutan pikiranku. "Hallo."

"Uncle Bernard!" suara Vincnet menggema di ujung telepon, membuatku tersenyum. "Hi, kiddo. What's wrong?"

"Do you remember my birthday tomorrow?"

Ah. Ulang tahun Vincent. "Of course. Do you want something?"

"Yeah!" teriak Vincent riang. "I want a scooter! Can I? Can I?"

"Scooter?" tanya Bernard lagi, "Do you think you're big enough to ride that?"

"Sure! I'm 3 years old!"

Aku tertawa mendengar pembelaannya. "Okay. Then it will be your present tomorrow."

Vincent kembali berteriak, membuatku harus menjauhkan telepon itu dari telingaku. "Oh, Uncle Bernard, will you bring Auntie Sarah to my birthday?"

"Do you want me to go with her?"

"Yes! Yes!" Aku hanya bisa tersenyum mendengar antusiasmenya. Ini juga yang membuatku cukup kagum dengan Sarah. Vincent bisa dibilang orang yang tidak mudah akrab dengan orang lain. Tapi saat ia bertemu Sarah, semua sikap itu hilang. Vincent bahkan bersikap sinis pada Angela, adik Sarah. Dalam sekejap, Sarah hampir merebut posisiku sebagai idolanya. "Okay. We'll see you tomorrow."


Ulang tahun Vincent berlangsung meriah dengan badut dan permainan yang tidak ada habisnya. Seperti biasa, aku disuruh-suruh Kathlyn untuk menjadi fotografer dadakan di acara itu. Sarah sendiri sibuk membantu Kathlyn membagikan bingkisan. Meet my sister, the dictator one. Sarah dan Kathlyn cukup kewalahan membagikan bingkisan sampai akhirnya Daniel pun terpaksa turun tangan. Aku bersyukur aku tidak perlu ikut serta bergumul dengan anak-anak itu. Aku memanfaatkan momen itu untuk menangkap ekspresi mereka. Sosok Sarah yang sedang membagikan bingkisan itu juga terpotret olehku. Aku melihat hasil potret itu. Apakah ia memang selalu tersenyum seperti itu?

. . .

Daniel duduk di depanku setelah kami selesai merakit scooter baru Vincent. Leherku pegal karena terlalu lama menunduk. Secangkir teh panas tersedia di depan kami. "Kapan kau merencanakan untuk berbulan madu, Bernard?" tanya Daniel tiba-tiba.

Aku meliriknya, mencoba menebak ada maksud apa di balik pertanyaan itu. Reaksi ini tidak bisa kutahan karena sudah sekian lamanya Daniel menjadi psikiaterku semenjak kecelakaan yang menimpa orangtuaku dan Emma. Aku merasa kesal karena tidak bisa membaca pikiran Daniel. Ia selalu seperti itu.

"Tidak dalam waktu dekat ini," jawabku dengan jujur. Aku sudah belajar bahwa aku tidak bisa berbohong pada Daniel. Daniel menghela nafas mendengar jawabanku, jelas-jelas terlihat kecewa dengan jawabanku.

"Sebenarnya ada apa di antara kalian? Kau tau, untuk ukuran pasangan baru, kalian ini bisa dibilang tidak normal. Bullshit kalau kau bilang kalian berdua terlalu sibuk untuk meluangkan waktu. Kau adalah orang tertinggi di perusahaanmu, Bernard. Tidak akan ada yang menyalahkanmu kalau kau ingin mengambil waktu berduaan dengan istrimu. Dan aku yakin kantor Sarah juga tidak akan sekejam itu melarang Sarah menikmati kehidupan pernikahan kalian. Jadi, alasan apa lagi yang menahanmu menghabiskan waktu bersama Sarah selama sebulan?"

Ia mulai lagi. Ia mulai menganalisis kehidupanku. Padahal kupiikir setelah ia menikah dengan Kathlyn, kebiasaan itu akan hilang. Aku paling tidak suka jika ada orang yang terlalu ikut campur dalam urusan pribadiku. "Kau terlalu menganalisis kehidupan pernikahan orang lain, Daniel."

"I do it because i care about you. We are! Don't be stubborn and answer me this time. Honestly!" Daniel menghela nafas lagi sebelum melontarkan pertanyaan itu. "Do you love her?"

Aku menatap Daniel tajam. Jika aku bisa memukulnya aku akan melakukannya segera. Aku tidak suka ada orang yang menanyakan hal itu. Lagipula sebagai psikiaterku, seharusnya Daniel sudah tau jawabannya. Aku sudah menceritakan keputusanku padanya dulu. Mengapa dia menanyakan ini sekarang?

"Bernard?"

"I can't." Aku akhirnya mengeluarkan jawaban pertama yang muncul dalam kepalaku.

"Bernard!"

"I can't! And I'll never love her!"

"Why you so…"

"Dammit Daniel!" Kesabaranku habis sudah. "Kenapa kau harus membahas hal ini?! Bagaimana perasaanku pada Sarah, itu bukan urusanmu! It's my life with her! Not you and Kathlyn!" Aku tidak ingin membahasnya! Daniel sudah tau alasannya jadi kenapa aku harus membicarakan ini lagi?! Meskipun kukatakan kalau aku mencintainya, aku tetap tidak bisa kan?


Aku sampai di rumah lebih dulu saat Sarah pulang dalam keadaan basah kuyup. "Kau tidak membawa mobil hari ini?" Sarah menggeleng sambil melangkah masuk ke dalam. "Hari ini aku harus ke tempat klien di daerah yang macet. Jadi kupikir lebih baik aku tidak perlu membawa mobil dan naik angkutan umum saja. Ternyata dalam perjalanan pulang tadi hujan tiba-tiba turun dengan deras."

"Bodoh. Kenapa kau tidak naik taksi saja? Kau tidak akan basah seperti ini kalau naik taksi."

"Well, sebut saja ini hari tersialku. Dompetku tertinggal entah dimana dan aku hanya punya uang receh untuk naik kendaraan umum."

"Kau bisa membayarnya di sini." Atau ia bisa menelponku untuk memintamu menjemputnya. Kenapa ia tidak memikirkan pilihan itu?

"Aku bahkan tidak tahu di mana kuletakkan dompet sialan itu," sahutnya sambil melepaskan sweater hitamnya yang seperti habis direndam. Pemandangan di depanku membuatku tidak bisa melepaskan tatapanku dari Sarah. Kemaja putihnya melekat di tubuh Sarah karena basah, menampilkan lekuk tubuh Sarah. "Ngomong-ngomong, tumben kau pulang cepat, Ben. Ada apa?"

Suara Sarah menyadarkanku. Aku berdehem untuk menjernihkan pikiran dan tenggorokanku yang mendadak serak. Dengan cepat aku mengalihkan badan, berharap Sarah tidak melihat wajahku yang memerah. "Aku harus pergi ke Bali besok untuk urusan agency jadi aku memutuskan untuk segera menyelesaikan pekerjaanku dan packing." Sial. Aku merasa seperti saat malam pernikahan waktu itu. Ada apa sih denganku?

"Ke Bali?" Sarah membeo. "Berapa lama?"

Kuputuskan menjauhkan diri dari Sarah sebelum terjadi tindakan bodoh. Aku masuk ke ruang kerja, berniat menjernihkan pikiran dengan mengerjakan beberapa dokumen. "Kira-kira 1 minggu," jawabku sambil menyalakan lampu. Aku duduk di kursi di belakang meja, melonggarkan dasi yang terasa mencekik leherku, lalu menyalakan komputer. Sarah berdiri di ambang pintu ruang kerja, masih dengan pakaian basah yang melekat di tubuhnya. Apa yang dia lakukan sih?

"Kenapa kau diam saja? Cepat mandi. Kau terlihat payah sekali." Cepat pergi dari sini!

"Ben?"

"Hmm?"

"Biar aku membantumu membereskan pakaianmu untuk kau pergi besok. Boleh kan?"

"Aku bisa melakukannya sendiri, Sarah." Sebaiknya kau cepat pergi dan mandi! "Lagipula tidak banyak barang yang…"

"Aku ingin melakukannya," potong Sarah. "Aku ingin membantumu packing…"

Aku menatapnya. Keputusan yang salah. Sarah sedang menatapku dengan penuh tekad. Aku hampir lupa apa yang sedang kami bicarakan di sini. "Baiklah…" jawabku. "Tapi kau mandilah dulu. Jangan sampai baju yang kau siapkan basah semua." Segera pergi dan ganti pakaianmu!

Aku menarik nafas lega saat Sarah akhirnya mengangguk dan beranjak pergi. "Kau mau sekalian kubuatkan susu hangat?" tanya Sarah sekali lagi.

Aku lebih suka Sarah segera pergi dari sini dan mengganti pakaiannya. Tapi tawaran susu madu buatan Sarah juga tidak kalah menggiurkan. Semenjak kami menikah, susu itu adalah salah satu alasan kuat kenapa aku mensyukuri pernikahan ini. Tidak bisa menolak kenikmatan susu itu, aku mengangguk mengiyakan. "Setelah kau selesai mandi dan mengganti pakaianmu," kataku sekali lagi. Puas dengan jawabanku, Sarah pun pergi. Kali ini, aku benar-benar bisa bernafas lega.

. . .

Aku bermimpi. Ada seorang wanita yang menggandeng tanganku dengan erat. Aku bisa melihat senyumnya tapi tidak wajahnya. Yang aku tahu, itu bukan Emma. Emma tidak berambut ikal sebahu, dan ia jelas tidak sependek ini. Aku membalas genggaman tangannya, merasa tenang ia ada di sampingku. Kami berjalan bersama saat tiba-tiba ia melepaskan tangannya.

Tidak. Kepanikan mulai mendatangiku. Jangan Pergi. Jangan tinggalkan aku.

Aku berusaha menggapainya, mencoba menggenggam tangan yang ada di depanku, tidak ingin ia pergi. Dengan sekuat tenaga, aku berhasil meraih tangannya.

"Ben?" suara Sarah mulai menyadarkanku. Nafasku masih tidak beraturan. Aku membuka mata, mencoba mencerna ada di mana aku sekarang. Sarah ada di samping sofa, tanganku menggenggam tangannya. Suasana ruang kerja sudah gelap, dan ada selimut di atas tubuhku.

"Kenapa kau begitu perhatian padaku, Sarah?" tanyaku tiba-tiba. Aku mencoba duduk, masih menggenggam tangan Sarah. "Ini hanya pernikahan yang memberikan keuntungan kan? Kenapa kau peduli padaku?"

"Ben…"

"Kau… Kau tidak mungkin jatuh cinta padaku kan?"

Tidak. Sarah tidak boleh jatuh cinta padaku. Aku juga tidak boleh jatuh cinta padanya. Tiak boleh ada cinta di antara kami. Kalau tidak… Sarah akan…

"Pasti tidak kan? Kita bukan siapa-siapa kan?" Rasanya aku ingin berteriak. Aku tidak ingin ditinggalkan. Aku tidak ingin Sarah meninggalkanku. Oleh karena itu, kami tidak boleh jatuh cinta. Tidak. "Sarah…"

Sarah melepaskan diri dari genggamanku. Aku panik. Tidak! Jangan tinggalkan aku! "Kau benar…" sahut Sarah perlahan, "Aku tidak mungkin jatuh cinta padamu… Tidak…"

Aku berusaha menggapai tangannya, tapi ia menjauhkannya dariku "Sar…"

"Tapi apakah itu sebuah kesalahan?" bisik Sarah.

Sarah berlari pergi sebelum aku berhasil menggapainya. Penerangan dari ruang tamu seakan menyentakku. Aku melihat Sarah masuk ke kamar tidur dan menutup pintunya. Sarah hanya pergi ke kamar. Ia tidak meninggalkanku. Ia tidak pergi ke mana-mana. Aku kembali bersandar di sofa. Bulir keringat mulai turun dari dahiku. Aku menutup mataku dengan sebelah lenganku. Kepalaku sakit.

Tidak apa-apa, Bernard… Ia ada di kamar. Sarah tidak akan pergi ke mana-mana…


Saat Kathlyn menelpon mengabarkan kondisi Sarah, aku langsung memutuskan untuk pulang. Bayangan mimpi semalam masih menghantuiku. Tadi pagi, aku tidak sempat bertemu dengan Sarah. Terlalu banyak berpikir, aku tidak sadar waktu sudah siang, dan aku harus segera berangkat. Pintu kamar tidur yang dikunci membuatku mengurungkan niat membangunkan Sarah. Aku menelpon Kathlyn untuk mengecek keadaannya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran tersembunyiku. Saat aku sampai di rumah, Sarah sudah tertidur lagi. Meski pakaiannya baru saja diganti Kathlyn, keringat Sarah sudah mulai bercucuran lagi. Tidurnya tampak gelisah dan wajahnya memerah. Suhu terakhir yang diperiksa Kathlyn tadi masih menunjukkan angka 390C. Kathlyn pamit pulang untuk memberikan kabar pada Daniel dan Vincent.

"Kalau ada apa-apa, kabari aku. Jangan bertindak gegabah."

Aku mengangguk mengiyakan pesan Kathlyn sebelum memutuskan untuk kembali ke kamar dan mengecek kondisi Sarah. Aku mengambil bangku di dekat meja rias dan menariknya mendekati tempat tidur. Sarah membuka matanya perlahan saat aku baru duduk. "Ben?" suaranya serak saat memanggilku. Aku spontan menawarkan segelas air yang langsung ditenggaknya sampai habis. Aku membantunya bersandar pada kepala kasur setelah meletakkan gelas tadi. "Kenapa kau ada di sini?"

Tentu saja karena cemas padamu kan? "Menurutmu?" tanyaku balik.

"Bukannya kau harus ke Bali hari ini?" tanya Sarah lagi.

"Urusan di sana bisa diurus orang lain. Kau hampir membuat Kathlyn kena serangan jantung karena kondisimu." Bukan. Bukan Kathlyn. Kau hampir membuatku kena serangan jantung.

"Maaf…" gumam Sarah pelan. "Aku sudah merasa lebih baik… Sebaiknya kau tidak ada di sini. Nanti kau bisa tertular, Ben…"

Aku tersenyum melihat sikapnya yang lebih memperhatikan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. "Aku tidak selemah yang kau kira," jawabku. "Kau ingin makan sesuatu?"

"Entahlah… Kurasa tidak… Kepalaku masih terasa berat dan perutku mual…" Aku membantu Sarah kembali ke posisi tidurnya dan menyelimutinya. Suhu tubuhnya masih tinggi. "Tidurlah. Demammu masih tinggi. Akan kubawakan sesuatu saat kau bangun nanti. Kau harus makan untuk mengisi perutmu."


Aku terpaksa membawa Sarah ke rumah sakit karena panasnya tidak juga turun. Aku sempat tertegun saat Sarah meracau tentang Emma. Namun aku tidak bisa mengorek lebih jauh karena kondisi Sarah tidak membaik sama sekali. Saat aku bertemu dengan Kathlyn di rumah sakit, aku langsung menuntut alasan Kathlyn bercerita mengenai Emma. Kathlyn balas memarahiku, karena menurutnya Sarah perlu tahu. Yeah. Kathlyn dan her theory. Aku tau kalau Kathlyn peduli padaku dan Sarah, tapi terkadang sikap ikut campurnya sungguh menyebalkan. Ia bahkan seenaknya menganalisis perasaanku pada Sarah.

"She's special, right?" tanya Kathlyn.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Kathlyn bahkan bilang kalau aku tidak bersikap seperti ini saat aku bersama dengan Emma. Benarkah Sarah spesial? "Aku tidak tahu, Kathlyn. Dulu aku hanya melihat Sarah sebagai obyek yang bisa membawa keuntungan untuk agencyku…"

"Sekarang?" tanya Kathlyn lagi.

Pikiranku terpotong karena suara Sarah yang memanggil namaku. Topik itu segera terlupakan. Bahkan saat Sarah sedang dalam proses pemulihan, kami berdua tidak berniat membahasnya. Aku bersyukur topik itu tidak dibahas lagi. Aku lebih menyukai hidup seperti sekarang. Masalah itu bisa dibicarakan nanti.

Sampai tiba saatnya kami berlibur bersama ke pantai. Saat Sarah tenggelam dan aku tidak bisa menemukannya. Saat aku sudah menemukannya namun ia tidak bernafas. Saat aku sudah memberikan nafas bantuan berkali-kali namun Sarah tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali bernafas dan membuka matanya padaku. Aku ketakutan. Tidak pernah aku merasa tidak berdaya seperti itu. Bahkan saat aku kehilangan Emma aku tidak merasa seperti ini. Ketakutan terbesarku hampir terjadi. Aku hampir kehilangan Sarah untuk selamanya.

Ketika Sarah kembali bernafas, aku tidak bisa menahan air mataku. Aku belum kehilangan dirinya. Aku belum terlambat. Rasa lega yang mengalir deras dalam diriku membuatku tidak bisa menahan air mata itu. Untunglah tidak ada yang melihatnya. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan seperti itu.

Namun saat Sarah mengatakan bahwa ia baik-baik saja, aku pun meledak. Bagaimana mungkin ia mengatakan kalau ia baik-baik saja? Ia tidak tahu bagaimana rasanya ada di posisiku. Ia tidak tau bagaimana rasanya ditinggalkan. Ia tidak baik-baik saja. Aku tidak akan baik-baik saja jika ia sampai meninggalkanku.

"Sekali lagi kau mengatakan bahwa kau baik-baik saja," Aku membalikkan tubuh, mencoba menahan amarahku, "Aku sendiri yang akan membunuhmu." Aku segera pergi dari sana. Tidak ingin melepas kontrol atas amarahku. Aku pergi ke dermaga terdekat. Berdiri di sana, memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Semua emosi yang kurasakan tadi membuatku kewalahan. Aku tidak pernah merasakan serangan emosi seperti tadi. Panik, takut, lega dan bersyukur karena Sarah masih hidup.

Aku belum siap saat Sarah mendatangiku. Aku ingin ia pergi dan membiarkanku sendiri. Tapi ia tidak mau pergi. Ia berdiri di depanku, meraih tanganku dengan tangannya yang masih gemetar. Ia membiarkanku menyentuhnya, merasakan bahwa ia masih ada di sini, di sisiku.

"Aku masih di sini, Ben…" Ya… Dia masih di sini. Sarah masih hidup. "Aku akan tetap bersamamu…" Dan dia tidak akan meninggalkanku. Tidak akan meninggalkan aku. "Sarah…" bisikku parau. God… She's alive…

Sarah melepaskan tanganku. Dia bilang ingin memberikan aku waktu. Dia bilang dia peduli dan tidak ingin meninggalkanku. Kenapa? Bukankah ini hanya pernikahan politik? Bukankah… "Aku mencintaimu, Ben!"

Huh? Dia bilang apa? Apakah dia bilang… "Ya… Aku mencintaimu, Ben. Terlalu mencintaimu sehingga tidak bisa mengabaikanmu dan meninggalkanmu sendiri." Aku terdiam mendengar pengakuannya yang begitu jelas terdengar oleh telingaku. Suaranya begitu jernih. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kulakukan untuk membalas senyumannya?

"Kembalilah sebelum makan malam. Kami semua akan ada di hotel," katanya sebelum beranjak pergi. Tunggu dulu! Aku belum menjawabnya kan? Jangan pergi!

"Ben?" tanya Sarah saat aku menahan kepergiannya. Ia kembali berdiri di depanku. Ia tidak jadi pergi. Aku menangkup wajahnya dalam kedua tanganku. Kedua matanya yang berwarna coklat menatapku khawatir. Ia mulai bertanya lagi apakah aku baik-baik saja. Tentu saja aku baik-baik saja. Yang hampir tenggelam kan dia, bukan aku.

Sarah… selalu saja mencemaskan kondisi orang lain daripada dirinya sendiri. Bagaimana aku bisa melewatkan hal itu? Bagaimana mungkin selama ini aku tahan untuk tidak menyentuhnya? Merasakan kulit halusnya di tanganku, suaranya yang jernih, pandangan matanya yang penuh kasih. Merasakan cintanya padaku.

Ya. Aku jatuh cinta padanya. Entah sejak kapan, tapi sekarang… aku mencintainya. "I love you," bisikku lembut. Ya Tuhan… rasanya lega sekali mengakui perasaanku padanya. Aku tersenyum saat ia menangis, masih merasa tidak yakin dengan pernyataanku. Aku mengatakannya sekali lagi, berusaha meyakinkannya mengenai perasaanku. Aku memeluknya dengan erat, mencoba menyampaikan perasaanku lewat tubuhku. Aku suka mendengar suara tawanya. Aku suka melihat saat air matanya berjatuhan karena rasa bahagia. Aku suka memeluknya. Aku suka menciumnya. Ya… Aku mencintai Sarah…

Aku tersenyum menyadari hal ini. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan ketakutanku menghalangi perasaanku padanya. Tidak selama ia masih berdiri di sini bersamaku. Selama ia masih menggengam tanganku dan tersenyum padaku. Aku yakin, kami akan baik-baik saja.

.F.I.N.


Akhirnya beneran selesai nih cerita. Kalau ada yang merasa bonus chap ini kesannya agak terburu2, memang benar! Karna gue merasa gue harus menyelesaikan ini sebelum gue beralih ke skripsi lagi (ALASAN!)

Eniwei, silahkan dikomentari, dikritik, dikasih saran, apapun boleh soal cerita ini. kalau ada kesempatan lowong lagi, pasti akan diperbaiki. hehehe

Sekali lagii, mau mengucapkan terimakasih untuk semua teman2 yang rela membaca cerita ini dan mengomentarinya. Mau ngucapin terima kasih juga buat temen2 gue Ebi dan Yessica yang tiada kenal lelah dengan sikap editorialnya. heuheu. Oh iyaaaa, teman gue membuatkan gambar tokoh Sarah dan Ben lho. Yang mau liat silahkan buka link di profile yaa. Terimakasih banyak :))

Sampai Bertemu di Cerita lainnya :D